PEREKONOMIAN DALAM ISLAM





 




PEREKONOMIAN DALAM ISLAM







DISUSUN OLEH :
1.    MATLE ANGGARA
2.   MIFTAH FARIS
3.   ARFANI RANTRI
4.  AYU WIJAYANTI
5.   NABILA RIFQI 

MAN NGAWI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
 Seiring dengan dinamika era globalisasi khususnya dinamika Keislaman yang kian kini semakin mengalami berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum maka hal ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana penyeimbang arus global yang semakin memanas.
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
 Dalam konteks islam selain penguatan paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang handal dan kompeten sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan.Dalam rangka itulah makalah ‘’ Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam ‘’ diharapkan membantu pemahaman tentang ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia perekonomian juga realitas kehidupan perbankan secara luas.

B. Rumusan Masalah
1.  Pengertian ekonomi dalam Islam ?
2.  Macam-macam konsep perekonomian dalam Islam ?
3. Hikmah-hikmah konsep perekonomian dalam Islam ?



C. Manfaat
            Kita dapat memahami apa itu sistem perekonomian dalam Islam , macam-macam konsep perekonomian dalam Islam , dan hikmah-hikmah konsep perekonomian Islam dalam kehidupan sehari-hari.


D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.       Sebagai bentuk penyelesaian tugas mata pelajaran Fiqih kelas X-6.
2.      Untuk menjelaskan macam-macam konsep perekonomian dalam Islam dan hikmah-hikmahnya.






BAB II
PEMBAHASAN
EKONOMI DALAM ISLAM

A.     Pengertian Ekonomi Islam
 Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian ekonomi  Islam menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian menurut beberapa ahli ekonomi Islam sebagai berikut :
1.    Yusuf Qardhawi memberikan pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
2.    M.A. Mannan memberikan pengertian Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3.    M. Syauqi Al-Faujani memberikan pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.
4.    Monzer Kahf  memberikan pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan penangguhan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim.
Dari pengertian-pengertian itu tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah segala bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta kekayaan, baik dalam sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan apa yang disebut dengan ilmu ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi sebagai suatu sistem. Karena itu perlu diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi masing-masing membahas tentang ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi dan sistem ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali .


 B. Tujuan Ekonomi Islam
 Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
 Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
 1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
 2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
 3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencaku p lima jaminan dasar:
 a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
 b) kesalamatan jiwa (al nafs)
 c) keselamatan akal (al aql)
 d) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
 e) keselamatan harta benda (al mal)

 C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam
 Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
 1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
 2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
 3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
 4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
 5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
 6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
 7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
 8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena kajian ilmu ekonomi terfokus kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep) yang menjadi azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut Monzer Kahf setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya disatu sisi dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya pada sisi lainnya. Oleh karena itu setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusia untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi itu untuk kepentingan konsumsi. Dengan demikian dalam sistem ekonomi tidak akan pernah didapat jawaban tentang bagaimana cara memperbanyak hasil panen (produksi), tetapi sistem ekonomi akan memberikan jawaban tentang bagaimana cara memperoleh produksi dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Hal inilah kemungkinan yang tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A. sebagai berikut :
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم.  
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”


BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A.     Muamalah
1.       Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha perbankan dan asuransi yang islami.
            Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.

2.      Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam

 Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
 Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.
 Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
 1.         Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
 2.        Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
 3.        Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
 4.        Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
 5.        Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa rumah.
 Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan terwujud.


B.      Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam

1.       Jual Beli
a.       Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli

 Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
 Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.

b.      Rukun dan Syarat Jual Beli

 Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
 • Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
 Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
 1) Berakal
 2) Balig
 3) Berhak menggunakan hartanya

 • Sigat atau ucapan ijab dan kabul
            Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

 • Barang yang diperjualbelikan
 Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
 1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
 2) Barang itu ada manfaatnya
 3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
 4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
 5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas


 • Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
 Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
 1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
 2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
 3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.

c.       Macam-macam jual beli

1.       Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

 2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam).

 Contoh :
 a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
 b) Jual beli air mani hewan ternak.
 c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
 d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.

 3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).
 Karena sebab-sebab lain misalnya:
 a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
 b) Mempersulit peredaran barang.
 c) Merugikan kepentingan umum.

 Contoh :
 1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
 2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital.
 3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
 4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
 5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.


2.      Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan
1.    Khamer (Minuman Keras)
 Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).
2.    Bangkai, Babi dan Patung
 Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.” Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang?”  Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII: 309).
3.    Anjing
 Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4.    Gambar yang Bernyawa
 Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara ringkas).

5.    Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
 Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
 Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab, “Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6.    Biji-Bijian yang Belum Mengeras
 “Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).

2.      Khiyar
a.       Pengertian Khiyar

            Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.

b.      Macam-macam bentuk khiyar
·         Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh memili akan melanjutakan jual beli atau membatalkannya selama keduanya masih dalam satu tempat atau majelis.
 Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
 Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no: 2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
 Dan haram meninggalkan majlis kalau khawatir dibatalkan:
 Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).


·         Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar selama tiga hari.
 Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).

·         Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
 Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
 Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw. Sabda beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’ tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII: 253).


3.       Ijarah
a.       Pengertian Ijarah

Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على العمل) dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya adalah أجور.[1] Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:

     الإجارة مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا[3]



Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
15
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على العمل[4]

Artinya : “Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il  “ajara” setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
Artinya : “Ijarah secara bahasa disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم[6]

Artinya: “Akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfaat kebolehannya”.
Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض[7]



Artinya: ”Akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”. Menurut Ulama Malikiyyah

  تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة[8]

Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
Menurut Sayyid Sabiq

       وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض[9]               

Artinya:   ”Ijarah secara Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas  dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
·         Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
·         Adanya imbalan tertentu
·         Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

b.      Dasar Hukum Ijarah
a.       Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1)               Surat al-Thalaq  ayat 6:
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
2)              Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan
3)              Surat az-Zukhruf ayat 32:         
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.[13]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling   membantu antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)             Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.[14]

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.

b. Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits  yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15]

Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada   hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).

Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.[16]

Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:

حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و

سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[17]



Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]


Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.

c. Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah  kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi [19]. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.

c.       Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu:
a.       Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b.      Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.

d.      Rukun dan Syarat Ijarah

1.       Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan berakal sehat.
2.      Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan (Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3.       Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4.      Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.      Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6.       Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7.      Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8.      Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.

e.       Sifah Akad/Transaksi Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.

f.        Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji

Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi.
 Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut ganti rugi.

g.      Berakhirnya Akad Ijarah

Akan berakhir apabila:
 (1) Objek ijarah hilang/musnah.
 (2) Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad/transaksi ijarah.

Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.[47]

Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli

 Rukun ijarah ada 4, yaitu:
 a. Orang yang berakad
 b. Sewa/imbalan
 c. Manfaat
 d. Sigat/ijab kabul





h.      Anjuran Segera Membayar Upah

Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).

i.        Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).

j.        Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata Pencaharian

Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
 Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2 IV: 3320 no: 27 dan 3029).
 Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).

 Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 289).




4.      Jialah (Sayembara)
Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
1.        Rukun ji’alah
1.        Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2.       Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang lain.
3.        Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4.       Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
2.       Yang membatalkan ji’alah
Masing-masing pihak boleh menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3.        Hukum Ji’alah
Dasar hukum ji’alah adalah Boleh, sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman Allah :
Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf : 72)
Persyaratan tersebut seperti upah. Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia akan saya beri pakaian.


5.      Kerja Sama dalam Perekonomian Islam

1.       Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan. Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya. Syirkah berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan  keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :

وَتَعَاوَنُوْاعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوىوَلَاتَعَاوَنُوْعَلَىاْلاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah :2).
2.      Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م قَالَ الله ُتَعَالَى:اِنَّ الله َيَقُوْلُ اَنَاثَالِثُالشَّرِيْكَيْنِ مَالمَ ْيَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا  (رواه ابو داودوصححه الحاكم)

Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang  berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.

b.  Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.

c.  Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.

d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.

3.       Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
  Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.

Syarat dan Rukun Syirkah
 a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
 b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
 c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
 d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal
 e. Anggota yang bersyikah
 f. Pokok perjanjian
       g. Sighat
4.       Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapunmengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.

6.       Mudharabah

1.       Pengertian Mudharabah

Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
 Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).

2.      Pensyari’atan Mudharabah

Al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas ukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
 Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
 Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di  Madinah), maka mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).

3.       Orang yang Mengembangkan Modal Harus Amanah

Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).




7.      Musaqat


1.       Pengertian Musaqat

Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.

2.      Pensyari’atan Musaqat

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman lainnya. (Muttafaqun’alaih).
 Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” (Lalu) Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun berkata, “Kami akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.” (Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).


8.      Muzaraah dan Mukhabarah

Dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1.       Pengertian Muzaraah
Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.

2.      Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.

3.       Hukum Muzaraah dan Mukhabarah
Hukum asal muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada kecurangan dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.

4.      Zakat hasil Muzaraah dan Mukhabarah
Jika berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib zakat pemilik tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja,sedangkan mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib keduanya zakat.

5.      Pensyari’atan Muzaraah dan Mukhabarah
Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
 Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).


6.       Penanggung Modal

Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah n orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”

7.      Yang Tidak Boleh Dilakukan dalam Muzar’aah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini  tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).
Para pemilik tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
 a. Ditanami untuk kepentingan keluarga dan disedekahkan
 b. Meminjamkan kepada fakir miskin.
 c. Digarap melalui muzara’ah, mukharabah, dan musaqah.

Muzara’ah: paruhan hasil sawah antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
 Mukharabah: benih dari penggarap.
 Ketentuan:
 + Pemilik dan penggarap balig, akal sehat, dan jujur.
 + Digarap betul-betul.
 + Ditentukan lamanya masa penggarapan.
 + Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
 + Pemilik dan penggarap menaati ketentuan-ketentuan.
9.      Salam

1.       Pengertian Salam

Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).

2.      Pensyari’atan Salam

Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya Dia membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
 Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).

3.       Jual Beli Secara Salam dengan Orang yang Tidak Punya Modal

Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada petani dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu (pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?” Jawab Abdullah, “Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.” Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, “Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349 no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282).


BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT DAN HIKMAH DARI SETIAP KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A.     Hikmah Jual Beli
                                                                                    
Maha suci Allah dalam menjadikan setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan pensyariatan jual beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual beli dari 3 sudut yaitu:
1.       Individu
Penjual
(a)  Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
(b)  Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a)  Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
(b)  Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat Islam
(c) Terhindar daripada siksaan api neraka.

2.      Masyarakat

(a) Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
(b) Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki harta
(c) Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
(d) Menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
(e) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3.       Negara
(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik.
(b) Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c) Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama negara islam


B.      Hikmah Khiyar

1. Dapat membuat aqad jual beli berlangsung prinsip Islam.
 2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam jual beli.
 3. Terhindar dari unsur penipuan.


C.      Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1.       Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.      Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
3.       Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4.      Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran  yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

D.     Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan orang yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat percaya diri.

E.      Hikmah Syirkah
1.       Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang ekonomi.
2.      Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak orang.
3.       Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa solidaritas untuk kemajuan bersama.
4.      Menambah lapangan pekerjaan.


F.      Hikmah Mudharabah

a.       Mewujudkan persaudaraan dan persatuan
b.      Mengurangi/menghilangkan pengangguran
c.       Memberikan pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat hidup mandiri


G.     Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya dan si miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan lapangan kerja mengikuti sunah rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.

H.    Hikmah Muzaraah dan Mukhabarah
Memberi pertolongan kepada penggarap untuk mempunyai penghasilan,harta tidak beredar diorang kaya saja,dan mengikuti sunah rasullah.


BAB V
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
 Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli. Macam-macam penerapan transaksi ekonomi dalam Islam :
1.       Jual Beli : Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
2.      Khiyar : Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
3.       Ijarah : Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
4.      Jialah : Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan.
5.      Syirkah : Syirkah adalah Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6.       Mudharabah : Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
http://warohmah.com/wp-content/uploads/2015/11/jual-belie.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhgPKuoDnmpQ0OGpLGuFT-nRBlKbEZhvQ8J9skCwuU2IhSIYvGblEEbb3p3t32W9SKrLtRL0BaqRRlk3X4RDjLvkVr78z_SpdyWalo3EGo9ZIB94O9AbvddOt4eBKHnx-K4nzIJjz2SBPI/s1600/Pengertian+Ekonomi+Islam.jpg
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh5jTYgYNvmlRGKkuwrqZjAJeFdARMOlm6a7XldjqUirai3eD_s596peaF4Dxtanhu8lykcuhKTQJDDsANfT_L0vpbquyqI_liOlpomisUFaCrgQ4Dci316fburLL1jhm2v3HNq3-myXVM/w1200-h630-p-k-nu/pasar1.jpg

 
http://www.tubasmedia.com/wp-content/uploads/2014/05/120514-bb1.jpg
http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/medias/533878/big/rupiah-131231d.jpg

https://inspiringrahmat.files.wordpress.com/2012/02/4februari.jpg 

PEREKONOMIAN DALAM ISLAM



http://manngawi.sch.id/news/system/application/views/main-web/berita/man%20ngawi.png
 











DISUSUN OLEH :
1.    MATLE ANGGARA
2.   MIFTAH FARIS
3.   ARFANI RANTRI
4.  AYU WIJAYANTI
5.   NABILA RIFQI 

MAN NGAWI



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
 Seiring dengan dinamika era globalisasi khususnya dinamika Keislaman yang kian kini semakin mengalami berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum maka hal ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana penyeimbang arus global yang semakin memanas.
Islam adalah satu-satunya agama yang sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta. Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.
 Dalam konteks islam selain penguatan paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang handal dan kompeten sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan.Dalam rangka itulah makalah ‘’ Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam ‘’ diharapkan membantu pemahaman tentang ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia perekonomian juga realitas kehidupan perbankan secara luas.

B. Rumusan Masalah
1.  Pengertian ekonomi dalam Islam ?
2.  Macam-macam konsep perekonomian dalam Islam ?
3. Hikmah-hikmah konsep perekonomian dalam Islam ?



C. Manfaat
            Kita dapat memahami apa itu sistem perekonomian dalam Islam , macam-macam konsep perekonomian dalam Islam , dan hikmah-hikmah konsep perekonomian Islam dalam kehidupan sehari-hari.


D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.       Sebagai bentuk penyelesaian tugas mata pelajaran Fiqih kelas X-6.
2.      Untuk menjelaskan macam-macam konsep perekonomian dalam Islam dan hikmah-hikmahnya.






BAB II
PEMBAHASAN
EKONOMI DALAM ISLAM

A.     Pengertian Ekonomi Islam
 Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian ekonomi  Islam menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian menurut beberapa ahli ekonomi Islam sebagai berikut :
1.    Yusuf Qardhawi memberikan pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
2.    M.A. Mannan memberikan pengertian Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3.    M. Syauqi Al-Faujani memberikan pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang ekonomi.
4.    Monzer Kahf  memberikan pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan penangguhan kegiatan manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam masyarakat muslim.
Dari pengertian-pengertian itu tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah segala bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta kekayaan, baik dalam sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan apa yang disebut dengan ilmu ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi sebagai suatu sistem. Karena itu perlu diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi masing-masing membahas tentang ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi dan sistem ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali .


 B. Tujuan Ekonomi Islam
 Segala aturan yang diturunkan Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
 Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, yaitu:
 1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
 2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
 3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya). Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas mencaku p lima jaminan dasar:
 a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
 b) kesalamatan jiwa (al nafs)
 c) keselamatan akal (al aql)
 d) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
 e) keselamatan harta benda (al mal)

 C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam
 Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:
 1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
 2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.
 3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.
 4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
 5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
 6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.
 7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)
 8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena kajian ilmu ekonomi terfokus kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep) yang menjadi azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut Monzer Kahf setiap sistem ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya disatu sisi dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya pada sisi lainnya. Oleh karena itu setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusia untuk kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi itu untuk kepentingan konsumsi. Dengan demikian dalam sistem ekonomi tidak akan pernah didapat jawaban tentang bagaimana cara memperbanyak hasil panen (produksi), tetapi sistem ekonomi akan memberikan jawaban tentang bagaimana cara memperoleh produksi dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Hal inilah kemungkinan yang tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A. sebagai berikut :
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم.  
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”


BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A.     Muamalah
1.       Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha perbankan dan asuransi yang islami.
            Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.

2.      Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam

 Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
 Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.
 Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
 1.         Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
 2.        Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
 3.        Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
 4.        Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
 5.        Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa rumah.
 Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan terwujud.


B.      Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam

1.       Jual Beli
a.       Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli

 Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
 Jual beli sebagai sarana tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.

b.      Rukun dan Syarat Jual Beli

 Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
 • Orang yang melaksanakan akad jual beli (penjual dan pembeli).
 Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual dan pembeli adalah:
 1) Berakal
 2) Balig
 3) Berhak menggunakan hartanya

 • Sigat atau ucapan ijab dan kabul
            Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak pembeli).

 • Barang yang diperjualbelikan
 Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan antara lain:
 1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang halal
 2) Barang itu ada manfaatnya
 3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada tetapi sudah tersedia di tempat lain
 4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di bawah kekuasaannya
 5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak penjual dan pembeli dengan jelas


 • Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman modern sekarang ini berupa uang)
 Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang dijual adalah:
 1) Harga jual yang disepakati penjual dan pembeli harus jelas jumlahnya.
 2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada waktu transaksi jual beli.
 3) Apabila jual beli dilakukan secara barter atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.

c.       Macam-macam jual beli

1.       Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.

 2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah (batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan dengan ajaran Islam).

 Contoh :
 a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis, seperti bangkai dan daging babi.
 b) Jual beli air mani hewan ternak.
 c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut induknya (belum lahir).
 d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan dan penipuan.

 3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).
 Karena sebab-sebab lain misalnya:
 a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang lain.
 b) Mempersulit peredaran barang.
 c) Merugikan kepentingan umum.

 Contoh :
 1. Mencegat para pedagang yang akan menjual barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
 2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun terutama terhadap barang vital.
 3. Menjual barang yang akan digunakan oleh pembelinya untuk berbuat maksiat.
 4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
 5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.


2.      Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan
1.    Khamer (Minuman Keras)
 Dari Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226, Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII: 308).
2.    Bangkai, Babi dan Patung
 Dari Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.” Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan penerangan lampu oleh orang-orang?”  Beliau jawab, “Tidak boleh, karena haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281 no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan Nasa’i VII: 309).
3.    Anjing
 Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4.    Gambar yang Bernyawa
 Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.” Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII: 215 secara ringkas).

5.    Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
 Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
 Darinya (Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab, “Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6.    Biji-Bijian yang Belum Mengeras
 “Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama; Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917, Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no: 1245 dan Nasa’i VII: 270).

2.      Khiyar
a.       Pengertian Khiyar

            Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.

b.      Macam-macam bentuk khiyar
·         Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli boleh memili akan melanjutakan jual beli atau membatalkannya selama keduanya masih dalam satu tempat atau majelis.
 Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya seorang yang memiliki hak khiyar.
 Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar, selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu, sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka jual beli telah terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no: 2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
 Dan haram meninggalkan majlis kalau khawatir dibatalkan:
 Dari Amr bin Syu’aib dari bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).


·         Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti seseorang berkata “saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar selama tiga hari.
 Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi saw Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).

·         Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada si penjualnya.
 Dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
 Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw. Sabda beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’ tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII: 253).


3.       Ijarah
a.       Pengertian Ijarah

Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على العمل) dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya adalah أجور.[1] Wahbah al-Zuhaily menjelaskan ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa, kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:

     الإجارة مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا[3]



Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
15
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على العمل[4]

Artinya : “Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il  “ajara” setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
Artinya : “Ijarah secara bahasa disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم[6]

Artinya: “Akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui manfaat kebolehannya”.
Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض[7]



Artinya: ”Akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”. Menurut Ulama Malikiyyah

  تمليك منافع شيء مباحة مدة معلومة[8]

Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
Menurut Sayyid Sabiq

       وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض[9]               

Artinya:   ”Ijarah secara Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas  dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
·         Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
·         Adanya imbalan tertentu
·         Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

b.      Dasar Hukum Ijarah
a.       Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1)               Surat al-Thalaq  ayat 6:
Artinya: “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada mereka upahnya”.

Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang menyusukan anak itu.
2)              Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan
3)              Surat az-Zukhruf ayat 32:         
Artinya: “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.[13]

Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling   membantu antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)             Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.[14]

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya keahlian dibidangnya.

b. Landasan Sunnah

Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits  yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:

عن عائشة رضي الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15]

Artinya: “Dari Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada   hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).

Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan martabat mereka.[16]

Kemudian hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:

حدثنا ابن طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و

سلم واعطى الحجام اجره (رواه البخاري )[17]



Artinya: ”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas  r.a dia  berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar upahnya”. (H.R.Bukhari)

Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]


Artinya : ”Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah )  .

Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.

c. Ijma’

Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun yang membantah  kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi [19]. Jelaslah bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.

c.       Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu:
a.       Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b.      Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.

d.      Rukun dan Syarat Ijarah

1.       Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan berakal sehat.
2.      Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan (Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3.       Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4.      Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak bercacat.
5.      Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6.       Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi penyewa.
7.      Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8.      Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.

e.       Sifah Akad/Transaksi Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan.

f.        Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji

Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat dituntut ganti rugi.
 Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut ganti rugi.

g.      Berakhirnya Akad Ijarah

Akan berakhir apabila:
 (1) Objek ijarah hilang/musnah.
 (2) Habisnya tenggang waktu yang disepakati dalam akad/transaksi ijarah.

Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama, sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur) seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat, menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat kedua belah pihak yang berakad.[47]

Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim (mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli

 Rukun ijarah ada 4, yaitu:
 a. Orang yang berakad
 b. Sewa/imbalan
 c. Manfaat
 d. Sigat/ijab kabul





h.      Anjuran Segera Membayar Upah

Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!” (Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).

i.        Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja

Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no: 1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).

j.        Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata Pencaharian

Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun Lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur: 33).
 Dari Jabir Abdullah bin Ubai bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2 IV: 3320 no: 27 dan 3029).
 Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang tenung. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).

 Dari Ibnu Umar ra ia berkata, “Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II: 372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 289).




4.      Jialah (Sayembara)
Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Ji’alah ialah meminta agar mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
1.        Rukun ji’alah
1.        Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2.       Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang lain.
3.        Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4.       Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu berseru kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri uang sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat antara keduanya.
2.       Yang membatalkan ji’alah
Masing-masing pihak boleh menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja. Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3.        Hukum Ji’alah
Dasar hukum ji’alah adalah Boleh, sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman Allah :
Artinya: ”Dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf : 72)
Persyaratan tersebut seperti upah. Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia akan saya beri pakaian.


5.      Kerja Sama dalam Perekonomian Islam

1.       Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan, kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa, untuk mendapatkan keuntungan. Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya. Syirkah berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi, antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal kebaikan dan  keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :

وَتَعَاوَنُوْاعَلَى الْبِرِّوَالتَّقْوىوَلَاتَعَاوَنُوْعَلَىاْلاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah :2).
2.      Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua yaitu :
Syirkah amlak (Syirkah kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah uqud (Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص م قَالَ الله ُتَعَالَى:اِنَّ الله َيَقُوْلُ اَنَاثَالِثُالشَّرِيْكَيْنِ مَالمَ ْيَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا  (رواه ابو داودوصححه الحاكم)

Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari dua orang yang  berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.

b.  Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.

c.  Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba yang didapat.

d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.

3.       Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
  Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan perjanjian.

Syarat dan Rukun Syirkah
 a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
 b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
 c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
 d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal
 e. Anggota yang bersyikah
 f. Pokok perjanjian
       g. Sighat
4.       Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapunmengenai syirkah kerja menurut madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.Mengenai hikmah syirkah dapat dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi pengangguran.

6.       Mudharabah

1.       Pengertian Mudharabah

Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
 Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).

2.      Pensyari’atan Mudharabah

Al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas ukan qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah menjadi clear, jelas.”
 Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw.
 Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya (melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin, sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di  Madinah), maka mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.” Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin, alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan Baihaqi VI: 110).

3.       Orang yang Mengembangkan Modal Harus Amanah

Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI: 111).




7.      Musaqat


1.       Pengertian Musaqat

Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.

2.      Pensyari’atan Musaqat

Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman lainnya. (Muttafaqun’alaih).
 Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” (Lalu) Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan kepada kami untuk menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun berkata, “Kami akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.” (Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).


8.      Muzaraah dan Mukhabarah

Dalam bahasa Indonesia arti dari muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi. Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1.       Pengertian Muzaraah
Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.

2.      Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.

3.       Hukum Muzaraah dan Mukhabarah
Hukum asal muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada kecurangan dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.

4.      Zakat hasil Muzaraah dan Mukhabarah
Jika berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib zakat pemilik tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja,sedangkan mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib keduanya zakat.

5.      Pensyari’atan Muzaraah dan Mukhabarah
Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
 Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).


6.       Penanggung Modal

Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah n orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”

7.      Yang Tidak Boleh Dilakukan dalam Muzar’aah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini  tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII : 43).
Para pemilik tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
 a. Ditanami untuk kepentingan keluarga dan disedekahkan
 b. Meminjamkan kepada fakir miskin.
 c. Digarap melalui muzara’ah, mukharabah, dan musaqah.

Muzara’ah: paruhan hasil sawah antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
 Mukharabah: benih dari penggarap.
 Ketentuan:
 + Pemilik dan penggarap balig, akal sehat, dan jujur.
 + Digarap betul-betul.
 + Ditentukan lamanya masa penggarapan.
 + Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
 + Pemilik dan penggarap menaati ketentuan-ketentuan.
9.      Salam

1.       Pengertian Salam

Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).

2.      Pensyari’atan Salam

Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya Dia membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
 Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu, buat satu masa tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).

3.       Jual Beli Secara Salam dengan Orang yang Tidak Punya Modal

Dalam jual beli secara ijon tidak dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada petani dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu (pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?” Jawab Abdullah, “Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.” Kemudian saya diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, “Adalah para sahabat Nabi saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349 no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu Majah II: 766 no: 2282).


BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT DAN HIKMAH DARI SETIAP KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A.     Hikmah Jual Beli
                                                                                    
Maha suci Allah dalam menjadikan setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan pensyariatan jual beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual beli dari 3 sudut yaitu:
1.       Individu
Penjual
(a)  Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
(b)  Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a)  Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
(b)  Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat Islam
(c) Terhindar daripada siksaan api neraka.

2.      Masyarakat

(a) Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
(b) Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki harta
(c) Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
(d) Menata struktur kehidupan masyarakat yang menghargai hak milik orang lain.
(e) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3.       Negara
(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik.
(b) Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c) Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama negara islam


B.      Hikmah Khiyar

1. Dapat membuat aqad jual beli berlangsung prinsip Islam.
 2. Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam jual beli.
 3. Terhindar dari unsur penipuan.


C.      Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah antara lain:
1.       Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa, maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.      Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
3.       Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut. Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4.      Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha adalah dapat menolak kemungkaran  yang kemungkinan besar akan dilakukan oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

D.     Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan orang yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat percaya diri.

E.      Hikmah Syirkah
1.       Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang ekonomi.
2.      Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap, karena hasil pemikiran dari banyak orang.
3.       Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa solidaritas untuk kemajuan bersama.
4.      Menambah lapangan pekerjaan.


F.      Hikmah Mudharabah

a.       Mewujudkan persaudaraan dan persatuan
b.      Mengurangi/menghilangkan pengangguran
c.       Memberikan pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat hidup mandiri


G.     Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya dan si miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan lapangan kerja mengikuti sunah rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.

H.    Hikmah Muzaraah dan Mukhabarah
Memberi pertolongan kepada penggarap untuk mempunyai penghasilan,harta tidak beredar diorang kaya saja,dan mengikuti sunah rasullah.


BAB V
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
 Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli. Macam-macam penerapan transaksi ekonomi dalam Islam :
1.       Jual Beli : Jual beli ialah persetujuan saling mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
2.      Khiyar : Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada barang.
3.       Ijarah : Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
4.      Jialah : Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.Menurut Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan.
5.      Syirkah : Syirkah adalah Suatu perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6.       Mudharabah : Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
7.      Musaqat : Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
8.      Muzara’ah : Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
9.      Mukhabarah : Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
10.  Salam : Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).













7.      Musaqat : Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
8.      Muzara’ah : Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
9.      Mukhabarah : Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
10.  Salam : Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).














Related : PEREKONOMIAN DALAM ISLAM

0 Komentar untuk "PEREKONOMIAN DALAM ISLAM "