PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
DISUSUN OLEH :
1. MATLE ANGGARA
2. MIFTAH FARIS
3. ARFANI RANTRI
4. AYU WIJAYANTI
5. NABILA RIFQI
MAN NGAWI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan dinamika era
globalisasi khususnya dinamika Keislaman yang kian kini semakin mengalami
berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari
semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum maka hal
ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti
dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga
lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas
civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan
sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana
penyeimbang arus global yang semakin memanas.
Islam adalah satu-satunya agama yang
sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta.
Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah.
Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya
titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat
manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk
dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks islam selain
penguatan paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang handal dan kompeten
sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan
tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan.Dalam rangka itulah
makalah ‘’ Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam ‘’ diharapkan membantu
pemahaman tentang ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah
ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia
perekonomian juga realitas kehidupan perbankan secara luas.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ekonomi dalam Islam ?
2. Macam-macam konsep perekonomian dalam Islam ?
3. Hikmah-hikmah konsep perekonomian dalam Islam ?
C. Manfaat
Kita dapat memahami apa itu sistem perekonomian dalam Islam , macam-macam
konsep perekonomian dalam Islam , dan hikmah-hikmah konsep perekonomian Islam
dalam kehidupan sehari-hari.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.
Sebagai bentuk penyelesaian tugas mata pelajaran Fiqih
kelas X-6.
2. Untuk menjelaskan macam-macam konsep perekonomian dalam Islam dan
hikmah-hikmahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
EKONOMI DALAM
ISLAM
A.
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu
yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan
aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun
iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu,
karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat
pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan,
sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya
kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat
ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian ekonomi Islam
menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian menurut beberapa ahli
ekonomi Islam sebagai berikut :
1. Yusuf Qardhawi memberikan
pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini
bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana
yang tidak lepas dari syari’at Allah.
2. M.A. Mannan memberikan pengertian
Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3. M. Syauqi Al-Faujani memberikan
pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta
aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang
ekonomi.
4. Monzer Kahf memberikan
pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan penangguhan kegiatan
manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat muslim.
Dari pengertian-pengertian itu
tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah segala
bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta kekayaan, baik dalam
sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada
praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan apa yang disebut
dengan ilmu ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi sebagai suatu sistem.
Karena itu perlu diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi
masing-masing membahas tentang ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi dan sistem
ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali .
B. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan
Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan,
keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada
seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu
manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir
bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang
menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia,
yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan
yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas
mencaku p lima jaminan dasar:
a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
b) kesalamatan jiwa (al nafs)
c) keselamatan akal (al aql)
d) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e) keselamatan harta benda (al mal)
C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki
beberapa prinsip dasar:
1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam
batas-batas tertentu.
3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah
kerja sama.
4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat
dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt
dan hari penentuan di akhirat nanti.
7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang
telah memenuhi batas (nisab)
8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena kajian ilmu ekonomi terfokus
kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan
pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep) yang menjadi
azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut Monzer Kahf setiap sistem
ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya
disatu sisi dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya pada sisi lainnya.
Oleh karena itu setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas
sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusia untuk
kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi itu untuk
kepentingan konsumsi. Dengan demikian dalam sistem ekonomi tidak akan pernah
didapat jawaban tentang bagaimana cara memperbanyak hasil panen (produksi),
tetapi sistem ekonomi akan memberikan jawaban tentang bagaimana cara memperoleh
produksi dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Hal inilah kemungkinan yang
tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A. sebagai
berikut :
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم.
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”
BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Muamalah
1.
Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum
Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum
Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha
perbankan dan asuransi yang islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut
permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan
orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang
satu dan badan hukum yang lain.
2. Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam
Ekonomi adalah sesuatu yang
berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu
untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya
perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli,
sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap
transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
1.
Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya
memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
2.
Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh
tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
3. Setiap
transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
4. Islam
mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis
Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung
unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
5. Adat
kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad
sewa-menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas
transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur
dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan
terwujud.
B. Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam
1.
Jual Beli
a.
Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli
Jual beli ialah persetujuan saling
mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan
pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Jual beli sebagai sarana
tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari
Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara
lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.
b.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli
adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual
belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
• Orang yang melaksanakan akad jual beli
(penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual
dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya
• Sigat atau ucapan ijab dan kabul
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus
diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak
pembeli).
• Barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang
halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada
tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di
bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak
penjual dan pembeli dengan jelas
• Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman
modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang
dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan
pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada
waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter
atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi
berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.
c.
Macam-macam jual beli
1.
Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli
yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah
(batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi
atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan
dengan ajaran Islam).
Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis,
seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut
induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan
dan penipuan.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).
Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang
lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual
barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang
sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun
terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh
pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya
untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan
orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang
lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.
2.
Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan
1.
Khamer (Minuman Keras)
Dari
Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi
saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah
diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226,
Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII:
308).
2.
Bangkai, Babi dan Patung
Dari
Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika
Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.”
Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu
dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan
penerangan lampu oleh orang-orang?” Beliau jawab, “Tidak boleh, karena
haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum
Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka
mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281
no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan
Nasa’i VII: 309).
3.
Anjing
Dari Abu
Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil
melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237,
Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no:
1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4.
Gambar yang Bernyawa
Dari
Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra
tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya
Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.”
Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu
melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau
bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan
mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin
selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan
perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata
kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan
profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala
sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225
dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII:
215 secara ringkas).
5.
Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas
bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga
nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda)
sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
Darinya
(Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum
sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab,
“Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana
pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka
dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam
Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6.
Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata
jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama;
Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917,
Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no:
1245 dan Nasa’i VII: 270).
2.
Khiyar
a.
Pengertian Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual
belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada
barang.
b.
Macam-macam bentuk khiyar
·
Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli
boleh memili akan melanjutakan jual beli atau membatalkannya selama keduanya
masih dalam satu tempat atau majelis.
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si
pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama
mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau
kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual
beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya
seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar ra, dari
Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan
transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar,
selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak
memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak
memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah
jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu,
sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka
jual beli telah terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no:
2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
Dan haram meninggalkan majlis
kalau khawatir dibatalkan:
Dari Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual
(mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan
akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya
karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul
Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).
·
Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti seseorang berkata
“saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar
selama tiga hari.
Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi
saw Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai
hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya
dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim
III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).
·
Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan
kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang
yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan
si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan
tersebut kepada si penjualnya.
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat
teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika
ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu
sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini
bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari,
Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi
saw. Sabda beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja
yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak
memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan
jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’
tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul
Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII:
253).
3.
Ijarah
a.
Pengertian Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu
terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah
al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek,
yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak
pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan
sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang
berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على
العمل) dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya
adalah أجور.[1] Wahbah al-Zuhaily menjelaskan
ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa,
kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain
sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا[3]
Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata
“Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan
:
15
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي
لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على
العمل[4]
Artinya : “Ijarah menurut bahasa
merupakan mashdar sima’i bagi fi’il “ajara” setimbang dengan kata
“dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan
dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga
mengemukakan :
Artinya : “Ijarah secara bahasa
disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka
secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة
قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم[6]
Artinya: “Akad atas suatu manfaat
yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui
manfaat kebolehannya”.
Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض[7]
Artinya: ”Akad terhadap suatu
manfaat dengan adanya ganti”. Menurut Ulama
Malikiyyah
تمليك منافع
شيء مباحة مدة معلومة[8]
Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
Menurut Sayyid Sabiq
وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض[9]
Artinya: ”Ijarah secara
Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan
mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah,
tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang
pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan
kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam
defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
·
Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak
yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
·
Adanya imbalan tertentu
·
Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh
untuk bekerja.
b.
Dasar Hukum Ijarah
a.
Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S.
Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1)
Surat al-Thalaq ayat 6:
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada
mereka upahnya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk
menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang
menyusukan anak itu.
2)
Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama
sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak
yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu
kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui
jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya
yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan
3)
Surat az-Zukhruf ayat
32:
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”.[13]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia
atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu
antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan
melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian
manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)
Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat
dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.[14]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan
adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya
keahlian dibidangnya.
b. Landasan Sunnah
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
عن عائشة رضي
الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من
بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص
بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور
بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن
فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15]
Artinya: “Dari
Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang
pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi
bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash
bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi
jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan
miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia
pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada
hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama
keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka
menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat
darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan
orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak
membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang
tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak
didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan
Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa
orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan
martabat mereka.[16]
Kemudian hadist
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن
طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى
الحجام اجره (رواه البخاري )[17]
Artinya:
”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia
berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar
upahnya”. (H.R.Bukhari)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah
terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa
Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا
الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]
Artinya : ”Dari
Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada
pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .
Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang
yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah
itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai
dilakukan.
c. Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun
yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka
yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi [19]. Jelaslah
bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk
kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
c.
Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah
dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa).
Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan
kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk
digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek
sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan
(jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya
boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh
pabrik, tukang sepatu, dan tani.
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah)
terbagi kepada dua yaitu:
a.
Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh
seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan
orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b.
Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan
orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara
jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan
karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan
yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad
dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.
d.
Rukun dan Syarat Ijarah
1.
Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan
berakal sehat.
2.
Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan
(Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3.
Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui
kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4.
Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat.
5.
Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6.
Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi
penyewa.
7.
Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8.
Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas,
tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
e.
Sifah Akad/Transaksi Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa
akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang
tersebut tidak bisa dimanfaatkan.
f.
Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji
Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan
karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat
dituntut ganti rugi.
Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang
sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut
Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama
Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut ganti rugi.
g.
Berakhirnya Akad Ijarah
Akan berakhir apabila:
(1) Objek ijarah
hilang/musnah.
(2) Habisnya tenggang waktu yang
disepakati dalam akad/transaksi ijarah.
Para ulama fiqih menyatakan bahwa
akad ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta
dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai
kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka
penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang
sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh
ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding
dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan
mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk
berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah
bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan
hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama,
sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur)
seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad
ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad
ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat,
menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat
kedua belah pihak yang berakad.[47]
Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang
dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara
sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim
(mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan
meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi
waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang
disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad
tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah
akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya
adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi
batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli
Rukun ijarah ada 4, yaitu:
a. Orang yang berakad
b. Sewa/imbalan
c. Manfaat
d. Sigat/ijab kabul
h.
Anjuran Segera Membayar Upah
Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).
i.
Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw
Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari
kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang
mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas
dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:
1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).
j.
Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata
Pencaharian
Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun
Lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur:
33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai
bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya
lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka
mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2
IV: 3320 no: 27 dan 3029).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra
bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang
tenung. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no:
1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II:
730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
Dari Ibnu Umar ra ia berkata,
“Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:
939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II:
372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 289).
4.
Jialah (Sayembara)
Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang
dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan
penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah
diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Ji’alah ialah meminta agar
mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya
seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku
dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
1.
Rukun ji’alah
1.
Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2.
Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang
menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang
lain.
3.
Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4.
Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang
yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu
berseru kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri
uang sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya
mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat
antara keduanya.
2.
Yang membatalkan ji’alah
Masing-masing pihak boleh
menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya
orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja.
Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang
bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3.
Hukum Ji’alah
Dasar hukum ji’alah adalah Boleh,
sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman Allah :
Artinya: ”Dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf
: 72)
Persyaratan tersebut seperti upah.
Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak
boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia
akan saya beri pakaian.
5.
Kerja Sama dalam Perekonomian Islam
1.
Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan,
kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam
bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa,
untuk mendapatkan keuntungan. Suatu
perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa
dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya. Syirkah
berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang
bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk
mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak
manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi,
antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi
kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal
kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَى
الْبِرِّوَالتَّقْوىوَلَاتَعَاوَنُوْعَلَىاْلاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ …
“Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah :2).
2.
Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua
yaitu :
Syirkah amlak (Syirkah
kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang
menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah uqud
(Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan
dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud
dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang
permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan
supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص م قَالَ الله ُتَعَالَى:اِنَّ الله َيَقُوْلُ
اَنَاثَالِثُالشَّرِيْكَيْنِ مَالمَ ْيَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ
خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه ابو داودوصححه الحاكم)
Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari
dua orang yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati
yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar
dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak
berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.
b. Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang
bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi
menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
c.
Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan
syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba
yang didapat.
d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang
atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
3.
Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas
kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan
mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam.
Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan
perjanjian.
Syarat dan Rukun Syirkah
a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal
e. Anggota yang bersyikah
f. Pokok perjanjian
g. Sighat
4.
Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah
mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota
syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapunmengenai syirkah kerja menurut
madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.Mengenai hikmah syirkah dapat
dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang
besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan
hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk
bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi
pengangguran.
6.
Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu
melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath
(sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk
diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara
kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain
supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai
dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
2.
Pensyari’atan Mudharabah
Al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas ukan
qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam
bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh
memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang
telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah
menjadi clear, jelas.”
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para
sahabat Rasulullah saw.
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua
anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan
menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa
al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia
mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka
berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at
bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di
sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya
(melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian
berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian
dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin,
sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin
melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian
ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima
harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka
mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta
negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan
mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab
mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul
Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian
berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah
diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya
engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau
musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.”
Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian
Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka
seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar
menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar
mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan
Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan
Baihaqi VI: 110).
3.
Orang yang Mengembangkan Modal Harus Amanah
Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad
(terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian
kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir
menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang
modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara
kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah
mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan
bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada
binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan
(pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar
salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.”
(Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI:
111).
7.
Musaqat
1.
Pengertian Musaqat
Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang
sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari
hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
2.
Pensyari’atan Musaqat
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar
dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman
lainnya. (Muttafaqun’alaih).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi
saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” (Lalu)
Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan kepada kami untuk
menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun berkata, “Kami
akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.”
(Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).
8.
Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam bahasa Indonesia arti dari
muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut
mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz
dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki
makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi.
Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd
al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama
Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam
Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau
lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa
arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa
munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan
ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi
Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi
ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1.
Pengertian Muzaraah
Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian
hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak
mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
2.
Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari
pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari
pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
3.
Hukum Muzaraah dan Mukhabarah
Hukum asal muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada
kecurangan dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.
4.
Zakat hasil Muzaraah dan Mukhabarah
Jika berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib
zakat pemilik tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil
upah kerja,sedangkan mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib
keduanya zakat.
5.
Pensyari’atan Muzaraah dan Mukhabarah
Abdullah bin Umar ra, bahwa ia
pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan
syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no:
3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin
Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah
ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di
antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar,
Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
6.
Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah
ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau
ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam
Bukhari menuturkan, “Umar pernah n orang-orang untuk menggarap tanah dengan
ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari
hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan
begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak
mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka,
lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya
dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
7.
Yang Tidak Boleh Dilakukan dalam Muzar’aah
Dalam muzara’ah, tidak boleh
mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini tanah dan sebidang tanah lainnya
untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan,
“Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’
bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa
mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang
tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh
si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin
Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka
jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata,
“Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai
pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka
tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul
Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa
perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata,
“Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan
emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode
Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh
di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain.
Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh
sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti
dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim
III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII :
43).
Para pemilik
tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
a. Ditanami untuk kepentingan
keluarga dan disedekahkan
b. Meminjamkan kepada fakir
miskin.
c. Digarap melalui muzara’ah,
mukharabah, dan musaqah.
Muzara’ah: paruhan hasil sawah
antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
Mukharabah: benih dari
penggarap.
Ketentuan:
+ Pemilik dan penggarap balig,
akal sehat, dan jujur.
+ Digarap betul-betul.
+ Ditentukan lamanya masa
penggarapan.
+ Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan
penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
+ Pemilik dan penggarap
menaati ketentuan-ketentuan.
9.
Salam
1.
Pengertian Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan
kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang
secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di
muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).
2.
Pensyari’atan Salam
Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya
bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai
waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya
Dia membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no: 1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia
berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara
ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu,
timbangan tertentu, buat satu masa tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul
Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).
3.
Jual Beli Secara Salam dengan Orang yang Tidak Punya
Modal
Dalam jual beli secara ijon tidak
dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia
berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk
menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah
kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw
biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada petani
dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu
(pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?” Jawab Abdullah,
“Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.” Kemudian saya
diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, “Adalah para sahabat Nabi
saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak
pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini
bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349 no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu
Majah II: 766 no: 2282).
BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT DAN
HIKMAH DARI SETIAP KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Hikmah Jual Beli
Maha suci Allah dalam menjadikan
setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan
pensyariatan jual beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual
beli dari 3 sudut yaitu:
1.
Individu
Penjual
(a) Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah
dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
(b) Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya
khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a) Berpuas hati di atas urusniaga yang
dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
(b) Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di
atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat Islam
(c) Terhindar daripada siksaan api
neraka.
2. Masyarakat
(a) Menyenangkan manusia
bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
(b) Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh
mencerobohi dalam usaha memiliki harta
(c) Menggalakkan orang ramai supaya hidup
berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
(d) Menata struktur kehidupan masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
(e) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3.
Negara
(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara ke tahap yang lebih baik.
(b) Dapat menarik pelabur asing
untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c) Menggalakkan persaingan ekonomi
yang sihat sesama negara islam
B. Hikmah Khiyar
1. Dapat membuat aqad jual beli
berlangsung prinsip Islam.
2. Mendidik masyarakat agar
berhati-hati dalam jual beli.
3. Terhindar dari unsur
penipuan.
C. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam
bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan
manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan
atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah
antara lain:
1.
Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu
membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan
kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa,
maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila
kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak
beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat
berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing
individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka
masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.
Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim
adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan
tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban
tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
3.
Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah
khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup
masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut.
Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4.
Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha
adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan
oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
D. Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan
orang yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat percaya diri.
E. Hikmah Syirkah
1.
Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang
ekonomi.
2.
Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap,
karena hasil pemikiran dari banyak orang.
3.
Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa
solidaritas untuk kemajuan bersama.
4.
Menambah lapangan pekerjaan.
F. Hikmah Mudharabah
a.
Mewujudkan persaudaraan dan persatuan
b.
Mengurangi/menghilangkan pengangguran
c.
Memberikan pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat
hidup mandiri
G. Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya
dan si miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan lapangan kerja mengikuti
sunah rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.
H. Hikmah Muzaraah dan Mukhabarah
Memberi pertolongan kepada penggarap
untuk mempunyai penghasilan,harta tidak beredar diorang kaya saja,dan mengikuti
sunah rasullah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan
usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya
perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli,
sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli. Macam-macam penerapan transaksi ekonomi dalam Islam :
1.
Jual Beli : Jual beli ialah persetujuan saling
mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan
pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
2.
Khiyar : Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan
si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu
hal, misalnya ada cacat pada barang.
3.
Ijarah : Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah
(memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu
memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan
dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
4.
Jialah : Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang
dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.Menurut
Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang
suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan.
5.
Syirkah : Syirkah adalah Suatu perjanjian kerjasama
antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil
keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6.
Mudharabah : Menurut istilah fiqh, kata mudharabah
adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya
memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya
dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah
III: 212).
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
DISUSUN OLEH :
1. MATLE ANGGARA
2. MIFTAH FARIS
3. ARFANI RANTRI
4. AYU WIJAYANTI
5. NABILA RIFQI
MAN NGAWI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seiring dengan dinamika era
globalisasi khususnya dinamika Keislaman yang kian kini semakin mengalami
berbagai macam persoalan baik dari segi persaingan perbankan yang kian kemari
semakin banyak dan semakin berkompetensi khususnya dalam dunia hokum maka hal
ini telah mendorong terus meningkat dan semakin kompleknya tuntutan yang mesti
dilakukan khususnya bagi lembaga lembaga perbankan terlebih bagi lembaga
lembaga perbankan yang kurang memenuhi standar kapabelitas dan profesionalitas
civitas akademik / keilmuan .Maka dari semua itu tuntutan terhadap penyiapan
sumber daya manusia yang handal sungguh sangat dtuntut sebagi sarana
penyeimbang arus global yang semakin memanas.
Islam adalah satu-satunya agama yang
sempurna yang mengatur seluruh sendi kehidupan manusia dan alam semesta.
Kegiatan perekonomian manusia juga diatur dalam Islam dengan prinsip illahiyah.
Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya
titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat
manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk
dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks islam selain
penguatan paradigma, prespektif diskripsi perbankan yang handal dan kompeten
sungguh sangat diperlukan sehingga seorang nasabah akan mampu memandang kedepan
tentang tantangan dan tuntutan yang mesti ia persiapkan.Dalam rangka itulah
makalah ‘’ Ekonomi Syariah : Dalam Tinjauan Islam ‘’ diharapkan membantu
pemahaman tentang ekonomi islam itu sendiri dan juga diharapkan dengan makalah
ini akan semakin memperkaya prespektif dan khazanah keilmuan tentang dunia
perekonomian juga realitas kehidupan perbankan secara luas.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian ekonomi dalam Islam ?
2. Macam-macam konsep perekonomian dalam Islam ?
3. Hikmah-hikmah konsep perekonomian dalam Islam ?
C. Manfaat
Kita dapat memahami apa itu sistem perekonomian dalam Islam , macam-macam
konsep perekonomian dalam Islam , dan hikmah-hikmah konsep perekonomian Islam
dalam kehidupan sehari-hari.
D. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.
Sebagai bentuk penyelesaian tugas mata pelajaran Fiqih
kelas X-6.
2. Untuk menjelaskan macam-macam konsep perekonomian dalam Islam dan
hikmah-hikmahnya.
BAB II
PEMBAHASAN
EKONOMI DALAM
ISLAM
A.
Pengertian Ekonomi Islam
Ekonomi Islam merupakan ilmu
yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan
aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun
iman dan rukun Islam.Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya,
sebagaimana firman-Nya dalam surat At Taubah ayat 105 :
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu,
karena Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat
pekerjaan itu”.
Karena kerja membawa pada keampunan,
sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad saw:
“Barang siapa diwaktu sorenya
kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia mendapat
ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi).
Pengertian ekonomi Islam
menurut istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian menurut beberapa ahli
ekonomi Islam sebagai berikut :
1. Yusuf Qardhawi memberikan
pengertian ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini
bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana
yang tidak lepas dari syari’at Allah.
2. M.A. Mannan memberikan pengertian
Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari
masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.
3. M. Syauqi Al-Faujani memberikan
pengertian ekonomi Islam dengan segala aktivitas perekonomian beserta
aturan-aturannya yang didasarkan kepada pokok-pokok ajaran Islam tentang
ekonomi.
4. Monzer Kahf memberikan
pengertian ekonomi Islam dengan kajian tentang proses dan penangguhan kegiatan
manusia yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi dalam
masyarakat muslim.
Dari pengertian-pengertian itu
tampaklah suatu konklusi bahwa yang dimaksud dengan ekonomi Islam adalah segala
bentuk aktivitas manusia yang menyangkut persoalan harta kekayaan, baik dalam
sektor produksi, distribusi maupun konsumsi yang didasarkan pada
praktek-praktek ajaran Islam. Walaupun perlu juga diperhatikan apa yang disebut
dengan ilmu ekonomi sebagai suatu sains murni dan ekonomi sebagai suatu sistem.
Karena itu perlu diperhatikan, sekalipun ilmu ekonomi dan sistem ekonomi
masing-masing membahas tentang ekonomi, akan tetapi ilmu ekonomi dan sistem
ekonomi itu merupakan dua hal yang berbeda sama sekali .
B. Tujuan Ekonomi Islam
Segala aturan yang diturunkan
Allah swt dalam system Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan,
keutamaan, serta menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada
seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu
manusia mencapai kemenangan di dunia dan di akhirat.
Seorang fuqaha asal Mesir
bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran hukum Islam yang
menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia,
yaitu:
1. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa
menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan lingkungannya.
2. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan
yang dimaksud mencakup aspek kehidupan di bidang hukum dan muamalah.
3. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).
Para ulama menyepakati bahwa maslahah yang menjad puncak sasaran di atas
mencaku p lima jaminan dasar:
a) keselamatan keyakinan agama ( al din)
b) kesalamatan jiwa (al nafs)
c) keselamatan akal (al aql)
d) keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)
e) keselamatan harta benda (al mal)
C. Prinsip Ekonomi Dalam Islam
Secara garis besar ekonomi Islam memiliki
beberapa prinsip dasar:
1) Berbagai sumber daya dipandang sebagai
pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.
2) Islam mengakui pemilikan pribadi dalam
batas-batas tertentu.
3) Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah
kerja sama.
4) Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi
kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang saja
5) Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat
dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.
6) Seorang mulsim harus takut kepada Allah swt
dan hari penentuan di akhirat nanti.
7) Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang
telah memenuhi batas (nisab)
8) Islam melarang riba dalam segala bentuk.
Karena kajian ilmu ekonomi terfokus
kepada mekanisme (teknis) berproduksi, distribusi dan konsumsi, sedangkan
pembahasan sistem ekonomi berhubungan dengan pemikiran (konsep) yang menjadi
azas kegiatan ekonomi itu sendiri.
Menurut Monzer Kahf setiap sistem
ekonomi pasti didasarkan atas ideologi yang memberikan landasan dan tujuannya
disatu sisi dan aksioma-aksioma serta prinsip-prinsipnya pada sisi lainnya.
Oleh karena itu setiap sistem ekonomi membuat kerangka dimana suatu komunitas
sosio-ekonomik dapat memanfaatkan sumber-sumber alam dan manusia untuk
kepentingan produksi dan mendistribusikan hasil-hasil produksi itu untuk
kepentingan konsumsi. Dengan demikian dalam sistem ekonomi tidak akan pernah
didapat jawaban tentang bagaimana cara memperbanyak hasil panen (produksi),
tetapi sistem ekonomi akan memberikan jawaban tentang bagaimana cara memperoleh
produksi dan mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Hal inilah kemungkinan yang
tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas R.A. sebagai
berikut :
أنتم أعلم بأمر دنياكم (رواه مسلم.
“Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian”
BAB III
PEMBAHASAN
KONSEP-KONSEP
PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Muamalah
1.
Pengertian Muamalah
Muamalah merupakan bagian dari hukum
Islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum
Islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, serta usaha
perbankan dan asuransi yang islami.
Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut
permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan
orang lain atau antara seseorang dan badan hukum atau antara badan hukum yang
satu dan badan hukum yang lain.
2. Asas-asas Transaksi Ekonomi dalam Islam
Ekonomi adalah sesuatu yang
berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu
untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya
perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli,
sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli.
Dijelaskan bahwa dalam setiap
transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:
1.
Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi,
kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya
memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1!)
2.
Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh
tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.
3. Setiap
transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29!)
4. Islam
mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas
karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis
Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung
unsur penipuan.” (H.R. Muslim)
5. Adat
kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk
menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad
sewa-menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas
transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur
dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan
terwujud.
B. Penerapan Transaksi Ekonomi dalam Islam
1.
Jual Beli
a.
Pengertian, Dasar Hukum, dan Hukum Jual Beli
Jual beli ialah persetujuan saling
mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan
pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
Jual beli sebagai sarana
tolong menolong sesama manusia, di dalam Islam mempunyai dasar hukum dari
Al-Qui’an dan Hadis. Ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli antara
lain Surah Al-Baqarah, 2: 198 dan 275 serta Surah An-Nisa’ 4: 29.
b.
Rukun dan Syarat Jual Beli
Rukun dan syarat jual beli
adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual
belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).
• Orang yang melaksanakan akad jual beli
(penjual dan pembeli).
Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh penjual
dan pembeli adalah:
1) Berakal
2) Balig
3) Berhak menggunakan hartanya
• Sigat atau ucapan ijab dan kabul
Ulama fiqih sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli adalah kerelaan antara
penjual dan pembeli. Karena kerelaan itu berada dalam hati, maka harus
diwujudkan melalui ucapan ijab (dari pihak penjual) dan kabul (dari pihak
pembeli).
• Barang yang diperjualbelikan
Syarat-syarat barang yang diperjualbelikan
antara lain:
1) Barang yang diperjualbelikan sesuatu yang
halal
2) Barang itu ada manfaatnya
3) Barang itu ada di tempat, atau tidak ada
tetapi sudah tersedia di tempat lain
4) Barang itu merupakan milik si penjual atau di
bawah kekuasaannya
5) Barang itu hendaklah diketahui oleh pihak
penjual dan pembeli dengan jelas
• Nilai tukar barang yang dijual (pada zaman
modern sekarang ini berupa uang)
Syarat-syarat bagi nilai tukar barang yang
dijual adalah:
1) Harga jual yang disepakati penjual dan
pembeli harus jelas jumlahnya.
2) Nilai tukar barang itu dapat diserahkan pada
waktu transaksi jual beli.
3) Apabila jual beli dilakukan secara barter
atau Al-Muqayadah (nilai tukar barang yang dijual bukan berupa uang tetapi
berupa barang) dan tidak boleh ditukar dengan barang haram.
c.
Macam-macam jual beli
1.
Jual beli yang sah dan tidak terlarang yaitu jual beli
yang terpenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya.
2) Jual beli yang terlarang dan tidak sah
(batil) yaitu jual beli yang salah satu atau seluruh rukunnya tidak terpenuhi
atau jual beli itu pada dasar dan sifatnya tidak disyariatkan (disesuaikan
dengan ajaran Islam).
Contoh :
a) Jual beli sesuatu yang termasuk najis,
seperti bangkai dan daging babi.
b) Jual beli air mani hewan ternak.
c) Jual beli hewan yang masih berada dalam perut
induknya (belum lahir).
d) Jual beli yang mengandung unsur kecurangan
dan penipuan.
3) Jual beli yang sah tetapi terlarang (fasid).
Karena sebab-sebab lain misalnya:
a) Merugikan si penjual, si pembeli, dan orang
lain.
b) Mempersulit peredaran barang.
c) Merugikan kepentingan umum.
Contoh :
1. Mencegat para pedagang yang akan menjual
barang-barangnya ke kota, dan membeli barang-barang mereka dengan harga yang
sangat murah, kemudian menjualnya di kota dengan harga yang tinggi.
2. Jual beli dengan maksud untuk ditimbun
terutama terhadap barang vital.
3. Menjual barang yang akan digunakan oleh
pembelinya untuk berbuat maksiat.
4) Menawar sesuatu barang dengan maksud hanya
untuk memengaruhi orang lain agar mau membeli barang yang ditawarnya, sedangkan
orang yang menawar barang tersebut adalah teman si penjual (najsyi).
5) Monopoli yaitu menimbun barang agar orang
lain tidak membeli, walaupun dengan melampaui harga pasaran.
2.
Barang-barang yang tidak boleh diperjualbelikan
1.
Khamer (Minuman Keras)
Dari
Aisyah ra, ia berkata: Tatkala sejumlah ayat akhir surat al-Baqarah turun, Nabi
saw keluar (menemui para sahabat) lantas bersabda (kepada mereka), “Telah
diharamkan jual beli arak.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari IV: 417 no: 2226,
Muslim III: 1206 no: 1580, ‘Aunul Ma’bud IX: 380 no: 3473, dan Nasa’i VII:
308).
2.
Bangkai, Babi dan Patung
Dari
Jabir bin Abdullah ra, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda ketika
Beliau di Mekkah pada waktu penaklukan kota Mekkah, “Sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya telah mengharamkan menjual arak, bangkai, babi dan patung.”
Rasulullah saw ditanya, “Bagaimana pendapatmu tentang lemak bangkai, karena itu
dipergunakan untuk mengecat perahu-perahu, meminyaki kulit-kulit dan dijadikan
penerangan lampu oleh orang-orang?” Beliau jawab, “Tidak boleh, karena
haram.” Kemudian Rasulullah saw pada waktu itu bersabda, “Allah melaknat kaum
Yahudi, karena ketika Allah mengharamkan lemak bangkai, justeru mereka
mencairkannya, lalu menjualnya, kemudian mereka makan harganya.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari IV: 424 no: 2236, Muslim III: 1207 no: 1581, Tirmidzi II: 281
no: 1315, ‘Aunul Ma’bud IX: 377 no: 3469, Ibnu Majah II: 737 no: 2167 dan
Nasa’i VII: 309).
3.
Anjing
Dari Abu
Mas’ud al-Anshari ra, bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil
melacur, dan upah dukun. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 2237,
Muslim III: 1198 no: 1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no:
1293, Ibnu Majah II: 730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
4.
Gambar yang Bernyawa
Dari
Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata : Ketika saya berada di sisi Ibnu Abbas ra
tiba-tiba datanglah kepadanya seorang laki-laki lalu bertanya kepadanya “Ya
Ibnu Abbas, dan sejatinya aku berprofesi sebagai pelukis gambar-gambar ini.”
Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, ‘Saya tidak akan menyampaikan kepadamu
melainkan apa yang saya dengan dari Rasulullah saw. Aku mendengar Beliau
bersabda, “Barang siapa yang melukis satu gambar, maka sesungguhnya Allah akan
mengadzabnya hingga ia meniupkan ruh padanya, padahal ia tidak mungkin
selam-lamanya meniupkan ruh padanya.” Maka laki-laki itu berubah dengan
perubahan yang besar dan wajahnya menguning. Kemudian Ibnu Abbas berkata
kepadanya, “Celaka engkau! Jika engkau membangkang dan akan tetap meneruskan
profesimu ini, maka hendaklah engkau (menggambar) pepohonan ini; dan segala
sesuatu yang tidak bernyawa.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 416 no: 2225
dan lafadz ini bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1670 no: 2110 dan Nasa’i VIII:
215 secara ringkas).
5.
Buah-Buahan yang Belum Nyata Jadinya
Dari Anas
bin Malik ra, dari Nabi saw, bahwa beliau melarang menjual buah-buahan hingga
nyata jadinya dan kurma hingga sempurna. Beliau ditanya, “Apa (tanda)
sempurnanya?” Jawab Beliau “Berwarna merah atau kuning.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 6928 dan Fathul Bari IV: 397 no: 2167).
Darinya
(Anas bin Malik) ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah-buahan sebelum
sempurna. Kemudian Beliau ditanya, “Apa (tanda) sempurnanya?” Beliau menjawab,
“Hingga berwarna merah.” Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Bagaimana
pendapatmu apabila Allah menghalangi buah itu untuk menjadi sempurna, maka
dengan alasan apakah seorang di antara kamu akan mengambil harta saudaranya.”
(Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari: IV: 398 no: 2198 dan lafadz ini milik Imam
Bukhari, Muslim III: 1190 no: 155 dan Nasa’i VII: 264).
6.
Biji-Bijian yang Belum Mengeras
“Dari
Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw melarang menjual buah kurma hingga nyata
jadinya, dan (melarang) menjual gandum hingga berisi serta selamat dari hama;
Beliau melarang penjualnya dan pembelinya.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 917,
Muslim III: 1165 no: 1535, ‘Aunul Ma’bud IX: 222 no: 3352, Tirmidzi II: 348 no:
1245 dan Nasa’i VII: 270).
2.
Khiyar
a.
Pengertian Khiyar
Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan si pembeli untuk meneruskan jual
belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu hal, misalnya ada cacat pada
barang.
b.
Macam-macam bentuk khiyar
·
Khiyar Majlis
Artinya antara penjual dan pembeli
boleh memili akan melanjutakan jual beli atau membatalkannya selama keduanya
masih dalam satu tempat atau majelis.
Khiyar majlis sah menjadi milik si penjual dan si
pembeli semenjak dilangsungkannya akad jual beli hingga mereka berpisah, selama
mereka berdua tidak mengadakan kesepakatan untuk tidak ada khiyar, atau
kesepakatan untuk menggugurkan hak khiyar setelah dilangsungkannya akad jual
beli atau seorang di antara keduanya menggugurkan hak khiyarnya, sehingga hanya
seorang yang memiliki hak khiyar.
Dari Ibnu Umar ra, dari
Rasulullah saw bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila ada dua orang melakukan
transaksi jual beli, maka masing-masing dari mereka (mempunyai) hak khiyar,
selama mereka belum berpisah dan mereka masih berkumpul atau salah satu pihak
memberikan hak khiyarnya kepada pihak yang lain. Namun jika salah satu pihak
memberikan hak khiyar kepada yang lain lalu terjadi jual beli, maka jadilah
jual beli itu, dan jika mereka telah berpisah sesudah terjadi jual beli itu,
sedang salah seorang di antara mereka tidak (meninggalkan) jual belinya, maka
jual beli telah terjadi (juga).” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 332 no:
2112, Muslim 1163 no: 44 dan 1531, dan Nasa’i VII: 249).
Dan haram meninggalkan majlis
kalau khawatir dibatalkan:
Dari Amr bin Syu’aib dari
bapaknya dari datuknya bahwa Rasulullah saw bersabda, “Pembeli dan penjual
(mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan
akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya
karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul
Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).
·
Khiyar syarat
Yaitu penjualan yang didalamnya
disyaratkan sesuatu baik oleh penjual dan pembeli, seperti seseorang berkata
“saya jual rumah ini dengan harga seratus juta rupiah dengan syarat khiar
selama tiga hari.
Dari Ibnu Umar ra, dari Nabi
saw Beliau bersabda, “Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai
hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya
dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim
III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).
·
Khiyar ‘aib
Artinya dalam jual beli ini disyaratkan
kesempurnaan benda-benda yang dibeli.
Yaitu jika seseorang membeli barang
yang mengandung aib atau cacat dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan
si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan
tersebut kepada si penjualnya.
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda “Barangsiapa membeli seekor kambing yang diikat
teteknya, kemudian memerahnya, maka jika ia suka ia boleh menahannya, dan jika
ia tidak suka (ia kembalikan) sebagai ganti perahannya adalah (memberi) satu
sha’ tamar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 368 no: 2151 dan lafadz ini
bagi Imam Bukhari, Muslim III: 1158 no: 2151 dan lafadz ini bagi Imam Bukhari,
Muslim III: no: 1524, ‘Aunul Ma’bud IX: 312 no: 3428 dan Nasa’i VII: 253).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi
saw. Sabda beliau, “Janganlah kamu mengikat tetek unta dan kambing, siapa saja
yang membelinya dalam keadaan ia demikian, maka sesudah memerahnya ia berhak
memilih di antara dua kemungkinan, yaitu jika ia suka maka ia pertahankannya dan
jika ia tidak suka maka ia boleh mengembalikannya (dengan menambah) satu sha’
tamar.” (Shahih: Shahihul Jami’ no: 7347, Fathul Bari IV: 361 no: 2148, ‘Aunul
Ma’bud IX: 310 no: 3426 dengan tambahan pada awal kalimat, dan Nasa’i VII:
253).
3.
Ijarah
a.
Pengertian Ijarah
Ijarah berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu
terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu.
Ijarah, menurut bahasa, adalah
al-itsabah (memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek,
yaitu memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak
pemanfa’atan dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
Secara bahasa ijarah digunakan
sebagai nama bagi al-ajru (الأجر ) yang
berarti “imbalan terhadap suatu pekerjaan” (الجزاء على
العمل) dan “pahala” (الثواب ). Asal katanya adalah: أجر- يأجر dan jamaknya
adalah أجور.[1] Wahbah al-Zuhaily menjelaskan
ijarah menurut bahasa yaitu: بيع المنفعة yang berarti jual beli manfaat.[2] Al-Ijarah merupakan salah satu bentuk
kegiatan muamalah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa,
kontrak atau menjual jasa kepada orang lain seperti menjadi buruh kuli dan lain
sebagainya. Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
الإجارة مشتقة من الأجر وهو العواض، ومنه سمى الثواب أجرا[3]
Artinya: ”Ijarah di ambil dari kata
“Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala juga dinamakan upah”.
Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan
:
15
الإجارة في اللغة هي مصدر سماعي
لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجيم وضمها ومعنها الجزاء على
العمل[4]
Artinya : “Ijarah menurut bahasa
merupakan mashdar sima’i bagi fi’il “ajara” setimbang dengan kata
“dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan ajir(dengan kasrah jim dan
dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas suatu pekerjaan”.
Kemudian Abi Yahya Zakaria juga
mengemukakan :
Artinya : “Ijarah secara bahasa
disebut upah”
Berdasarkan defenisi di atas maka
secara etimologi ijarah adalah imbalan atas pekerjaan atau manfaat sesuatu.
Secara terminologi pengertian ijarah
adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh para ulama di bawah ini:
Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة
قا بلة للبذل والإ با حة بعوض معلوم[6]
Artinya: “Akad atas suatu manfaat
yang diketahui kebolehannya dengan serah terima dan ganti yang diketahui
manfaat kebolehannya”.
Menurut Ulama Hanafiyah
عقد على المنافع بعوض[7]
Artinya: ”Akad terhadap suatu
manfaat dengan adanya ganti”. Menurut Ulama
Malikiyyah
تمليك منافع
شيء مباحة مدة معلومة[8]
Artinya: ”Ijarah adalah menjadikan
milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu”.
Menurut Sayyid Sabiq
وفى الشرع عقد على المنفعة بعوض[9]
Artinya: ”Ijarah secara
Syara’ ialah akad terhadap suatu manfaat dengan adanya ganti”.
Dari beberapa pendapat ulama dan
mazhab diatas tidak ditemukan perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah,
tetapi dapat dipahami ada yang mempertegas dan memperjelas tentang
pengambilan manfaat terhadap benda atau jasa sesuai dengan jangka waktu yang
ditentukan dan adanya imbalan atau upah serta tanpa adanya pemindahan
kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam
defenisi yang dikemukakan oleh para ulama mazhab di atas maka dapat dipahami
bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam ijarah antara lain:
·
Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak
yang ditandai dengan adanya ijab dan kabul
·
Adanya imbalan tertentu
·
Mengambil manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh
untuk bekerja.
b.
Dasar Hukum Ijarah
a.
Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S.
Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.
1)
Surat al-Thalaq ayat 6:
Artinya:
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka berikanlah kepada
mereka upahnya”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa apabila orang tua menyuruh orang lain untuk
menyusukan anak mereka, maka sebaiknya diberikan upah kepada orang yang
menyusukan anak itu.
2)
Surat al-Baqarah ayat 233:
Artinya: “Dan
jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa tidaklah menjadi halangan sama
sekali kalau memberikan upah kepada perempuan lain yang telah menyusukan anak
yang bukan ibunya. Menurut Qatadah dan Zuhri, boleh menyerahkan penyusuan itu
kepada perempuan lain yang disukai ibunya atau ayahnya atau dengan melalui
jalan musyawarah. Jika telah diserahkan kepada perempuan lain maka biayanya
yang pantas menurut kebiasaan yang berlaku, hendaklah ditunaikan
3)
Surat az-Zukhruf ayat
32:
Artinya:
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan”.[13]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah memberikan kelebihan sebagain manusia
atas sebagian yang lain, agar manusia itu dapat saling membantu
antara yang satu dengan yang lainnya, salah satu caranya adalah dengan
melakukan akad ijarah (upah-mengupah), karena dengan akad ijarah itu sebagian
manusia dapat mempergunakan sebagian yang lain.
4)
Surat al-Qashas ayat 26-27:
Artinya: “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang
yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat
dipercaya”.Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya Aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka Aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku termasuk orang- orang yang baik”.[14]
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa di dalam ayat di atas disyaratkan
adanya imbalan atau upah mengupah atau memperkerjakan orang lain yang punya
keahlian dibidangnya.
b. Landasan Sunnah
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
عن عائشة رضي
الله عنها: واستأجرالنبى صلى الله عليه وسلم وأبو بكر رجلا من بني الديل، ثم من
بنى عبد بن عدي، هاديا خريتا الخريت: الماهر بالهداية قد غمس يمين حلف فى آل العاص
بن وائل، وهو على دين كفار قريش، فأمناه، فدفعا إليه راحلتيهما، ووعداه غار ثور
بعد ثلاث ليال، فأتهما براحلتيهما صبيحة ليال ثلاث فارتحلا، وانطلق معهما عامربن
فهيرة، والدليل الديلي، فأخذ بهم أسفل مكة، وهو طريق الساحل (رواه البخاري)[15]
Artinya: “Dari
Aisyah R.A, ia menuturkan Nabi SAW dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang
pintar sebagai penunjuk jalan dari dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi
bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash
bin Wail dan dia memeluk agama orang-orang kafir Quraisy. Dia pun memberi
jaminan keamanan kepada keduanya, maka keduanya menyerahkan hewan tunggangan
miliknya, seraya menjanjikan bertemu di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia
pun mendatangi keduanya dengan membawa hewan tunggangan mereka pada
hari di malam ketiga, kemudian keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama
keduanya Amir bin Fuhairah dan penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka
menempuh bagian bawah Mekkah, yakni jalur pantai”(H.R. Bukhari).
Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat
darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan
orang-orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak
membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi) maupun yang
tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti tidak
didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu. Sedangkan
Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fiqih membolehkan menyewa
orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat merendahkan
martabat mereka.[16]
Kemudian hadist
yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a ia berkata:
حدثنا ابن
طاوس عن أبيه عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: احتجم النبى صل الله عليه و
سلم واعطى
الحجام اجره (رواه البخاري )[17]
Artinya:
”Hadist dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas r.a dia
berkata bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar
upahnya”. (H.R.Bukhari)
Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk membayar upah
terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat dipahami bahwa
Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah mengupah.
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عليه وسلم أَعْطُوا
الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه ابن ماجه)[18]
Artinya : ”Dari
Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah SAW : Berikan upah kepada
pekerja sebelum keringatnya kering” ( H.R Ibnu Majah ) .
Hadits di atas menjelaskan tentang ketentuan pembayaran upah terhadap orang
yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat menganjurkan agar dalam pembayaran upah
itu hendaknya sebelum keringatnya kering atau setelah pekerjaan itu selesai
dilakukan.
c. Ijma’
Mengenai kebolehan ijarah para ulama sepakat tidak ada seorang ulama pun
yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada diantara mereka
yang berbeda pendapat, akan tetapi hal itu tidak ditanggapi [19]. Jelaslah
bahwa Allah SWT telah mensyari’atkan ijarah ini yang tujuannya untuk
kemaslahatan ummat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
c.
Macam-macam Ijarah
Dari segi objeknya, akad ijarah
dibagi para ulama fiqih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa).
Ijarah yang bersifat manfaat umpamanya adalah sewa-menyewa rumah, toko, dan
kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan manfaat yang dibolehkan syara’ untuk
digunakan, maka para ulama fiqih sepakat hukumnya boleh dijadikan objek
sewa-menyewa.
Ijarah yang bersifat pekerjaan
(jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah memperkerjakan seseorang untuk
melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini menurut para ulama fiqih hukumnya
boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan sesuai syari’at, seperti buruh
pabrik, tukang sepatu, dan tani.
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah)
terbagi kepada dua yaitu:
a.
Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh
seorang pekerja. Hukumnya orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan
orang yang memberinya upah. Seperti pembantu rumah tangga.
b.
Ijarah Musytarak
Yaitu ijarah yang dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan
orang lain. Contohnya para pekerja pabrik..
Adapun perbedaan spesifik antara
jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga kerja, disyaratkan kejelasan
karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa barang, selain persyaratan
yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan) pada waktu akad
dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual belikan.
d.
Rukun dan Syarat Ijarah
1.
Kedua orang yang bertransaksi (akad) sudah balig dan
berakal sehat.
2.
Kedua belah pihak tsb bertransaksi dengan kerelaan
(Q.S. An-Nisa’,4: 29).
3.
Barang yang akan disewakan (objek ijarah) diketahui
kondisi dan manfaatnya oleh penyewa.
4.
Objek ijarah bisa diserahkan dan dipergunakan secara
langsung dan tidak bercacat.
5.
Objek ijarah merupakan sesuatu yang dihalalkan syara’.
6.
Hal yang disewakan tidak termasuk suatu kewajiban bagi
penyewa.
7.
Objek ijarah adalah sesuatu yang biasa disewakan.
8.
Upah/sewa dalam transaksi ijarah harus jelas,
tertentu, dan sesuatu yang bernilai harta.
e.
Sifah Akad/Transaksi Ijarah
Jumhur ulama berpendapat bahwa
akad/transaksi ijarah bersifat mengikat, kecuali ada cacat, atau barang
tersebut tidak bisa dimanfaatkan.
f.
Tanggung Jawab Orang yang Diupah/Digaji
Ulama fikih sepakat bila objek yang dikerjakan rusak di tangan pekerja bukan
karena kelalaiannya dan tidak ada unsur kesengajaan, maka pekerja tidak dapat
dituntut ganti rugi.
Penjual jasa bila melakukan suatu kesalahan sehingga benda orang yang
sedang diperbaikinya mengalami kerusakan bukan karena kelalaian maka menurut
Imam Abu Hanifah, Zufar bin Hudailbin Qais al-Kufi (wafat 158 H/775 M), ulama
Mazhab Hambali dan Syafi’i tidak dapat dituntut ganti rugi.
g.
Berakhirnya Akad Ijarah
Akan berakhir apabila:
(1) Objek ijarah
hilang/musnah.
(2) Habisnya tenggang waktu yang
disepakati dalam akad/transaksi ijarah.
Para ulama fiqih menyatakan bahwa
akad ijarah akan berakkhir apabila:
Ijarah berakhir apabila dibatalkan. Sebab sewa adalah suatu tukaran harta
dengan harta. Oleh sebab itu, boleh dibatalkan sama seperti jual beli.[44]
Manfaat yang di harapkan telah terpenuhi atau pekerjaan telah selesai
kecuali ada uzur atau halangan. Apabila ijarah telah berakhir waktunya, maka
penyewa wajib mengembalikan barang sewaan utuh seperti semula. Bila barang
sewaan sebidang tanah pertanian yang di tanami dengan tanaman, maka boleh
ditangguhkan sampai buahnya bisa dipetik dengan pembayaran yang sebanding
dengan tenggang waktu yang di berikan.[45]
Menurut Ulama Hanafiyah, akad sewa dapat batal, karena munculnya halangan
mendadak terhadap si penyewa. Misalnya, jika seseorang menyewa tokoh untuk
berdagang kemudian dagangannya terbakar atau dicuri orang. Alasannya adalah
bahwa hilangnya sesuatu yang digunakan untuk memperoleh manfaat itu sama dengan
hilangnya barang yang memilki manfaat itu. Akan tetapi, menurut jumhur ulama,
sewa menyewa tidak dapat batal kecuali ada hal-hal yang membatalkan akad (uzur)
seperti cacat atau tempat pemenuhan manfaatnya hilang.[46]
Menurut Ulama Hanafiyah, wafatnya salah seorang yang berakad dalam akad
ijarah, maka tidak boleh diwariskan. Sedangkan menurut jumhur ulama, akad
ijarah tidak batal dengan wafatnya salah seorang yang berakad karena manfaat,
menurut mereka boleh diwariskan dan ijarah sama dengan jual beli yaitu mengikat
kedua belah pihak yang berakad.[47]
Sifat ijarah adalah mengikat para pihak yang berakad. Mengikat yang
dimaksud disini adalah apakah akad ijarah bisa di batalkan (fasakh) secara
sepihak atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad yang lazim
(mengikat) yang boleh dibatalkan. Menurut mereka ijarah batal dengan
meninggalnya salah seorang yang berakad dan tidak dapat dialihkan kepada ahi
waris. Alasanya adalah bahwa kematian itu merupakan perpindahan barang yang
disewakan dari satu pemilikan kepada pemilikan yang yang lain. Karena itu, akad
tersebut harus batal. Sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah
akad lazim yang tidak dapat dibatalkan dan dapat diwariskan. Adapun alasannya
adalah bahwa akad ijarah itu merupakan akad imbalan. Karena itu, tidak menjadi
batal karena meninggalnya salah satu pihak seperti dalam jual beli
Rukun ijarah ada 4, yaitu:
a. Orang yang berakad
b. Sewa/imbalan
c. Manfaat
d. Sigat/ijab kabul
h.
Anjuran Segera Membayar Upah
Dari Ibnu Umair ra bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya!”
(Shahih: Shahih Ibnu Majah no: 1980 dan Ibnu Majah II: 817 no: 2443).
i.
Dosa Orang yang Tidak Membayar Upah Pekerja
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw
Beliau bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Ada tiga golongan yang pada hari
kiamat (kelak) Aku akan menjadi musuh mereka: (pertama) seorang laki-laki yang
mengucapkan sumpah karena Aku kemudian ia curang, (kedua) seorang laki-laki
yang menjual seorang merdeka lalu dimakan harganya, dan (ketiga) seorang
laki-laki yang mempekerjakan seorang buruh lalu sang buruh mengerjakan tugas
dengan sempurna, namun ia tidak memberinya upahnya.” (Hasan: Irwa-ul Ghalil no:
1489 dan Fathul Bari IV: 417 no: 2227).
j.
Perbuatan yang Tidak Boleh Diambil Upahnya dalam Mata
Pencaharian
Allah swt menegaskan :
“Dan janganlah kamu paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Mulia Pengampun
Lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa (itu).” (QS an-Nuur:
33).
Dari Jabir Abdullah bin Ubai
bin Salul mempunyai dua budak perempuan, yang satu bernama Musaikah dan satunya
lagi bernama Umaimah. Kemudian dia memaksa mereka agar melacur, lalu mereka
mengadukan kasus itu kepada Nabi saw. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu memaksa budak-budak wanitamu untuk melacur maka adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no: 2155 dan Muslim2
IV: 3320 no: 27 dan 3029).
Dari Abu Mas’ud al-Anshari ra
bahwa Rasulullah saw melarang harga anjing, hasil melacur, dan upah tukang
tenung. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 426 no: 237, Muslim III: 1198 no:
1567, ‘Aunul Ma’bud IX: 374 no: 3464, Tirmidzi II: 372 no: 1293, Ibnu Majah II:
730 no: 2159 dan Nasa’i VII: 309).
Dari Ibnu Umar ra ia berkata,
“Nabi saw melarang upah persetubuhan pejantan.” (Shahih: Mukhtashar Muslim no:
939, Fathul Bari IV: 461 no: 2284, ‘Aunul Ma’bud IX: 296 no: 3412, Tirmidzi II:
372 no: 1291 dan Nasa’i VII: 289).
4.
Jialah (Sayembara)
Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang
dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.
Menurut Istilah syara’: Tindakan
penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang suatu ganti yang telah
diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan .[1]
Ji’alah ialah meminta agar
mengembalikan barang yang hilang dengan bayaran yang ditentukan. Misalnya
seseorang kehilangan kuda, dia berkata, ”Barangsiapa yang mendapatkan kudaku
dan dia kembalikan kepadaku, aku bayar sekian”.
1.
Rukun ji’alah
1.
Lafadz. Kalimat itu hendaklah mengandung arti
izin kepada yang akan bekerja, juga tidak ditentukan waktunya.
2.
Orang yang menjajikan upahnya. Orang yang
menjanjikan upahnya tersebut boleh orang yang kehilangan itu sendiri atau orang
lain.
3.
Pekerjaan(mencari barang yang hilang).
4.
Upah. Disyaratkan memberi upah dengan barang
yang tertentu.
Jika orang yang kehilangan itu
berseru kepada masyarakat umum, ” Siapa yang mendapatkan barangku akan aku beri
uang sekain.” kemudian dua orang bekerja mencari barang itu, sampai keduanya
mendapatkan barang itu bersama-sama, maka upah yang dijanjikan tadi berserikat
antara keduanya.
2.
Yang membatalkan ji’alah
Masing-masing pihak boleh
menghentikan(membatalkan) perjanjian sebelum bekerja. Jika yang membatalkannya
orang yang bekerja, maka ia tidak mendapat upah, sekalipun ia sudah bekerja.
Tetapi jika yang membatalkannya adalah pihak yang menjanjikan upah, maka yang
bekerja berhak menuntut upah sebanyak pekerjaan yang sudah dia kerjakan.[2]
3.
Hukum Ji’alah
Dasar hukum ji’alah adalah Boleh,
sebagai mana firman Allah dan Sabda Nabi SAW.
Firman Allah :
Artinya: ”Dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperolaeh bahan makanan(seberat) beban unta.”(Q.S Yusuf
: 72)
Persyaratan tersebut seperti upah.
Persyaratan harus jelas, sebab sebagai ganti(upah) atau sebagai ongkos. Tidak
boleh samar-samar, seperti: siapa yang mengembalikan budakku yang lari, maka ia
akan saya beri pakaian.
5.
Kerja Sama dalam Perekonomian Islam
1.
Syirkah
Menurut bahasa syirkah artinya : persekutuan,
kerjasama atau bersama-sama. Menurut istilah syirkah adalah suatu akad dalam
bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih dalam bidang modal atau jasa,
untuk mendapatkan keuntungan. Suatu
perjanjian kerjasama antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa
dengan syarat bagi hasil keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya. Syirkah
berarti perseroan/persekutuan, yaitu persekutuan antara 2 orang/lebih yang
bersepakat untuk bekerjasama dalam suatu usaha, yang keuntungan/hasilnya untuk
mereka bersama. (Q.S. Al-Ma’idah, 5: 2)
Syirkah atau kerjasama ini sangat baik kita lakukan karena sangat banyak
manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kesejahteraan bersama. Kerjasama itu ada yang sifatnya antar pribadi,
antar group bahkan antar Negara.
Dalam kehidupan masyarakat, senantiasa terjadi
kerjasama, didorong oleh keinginan untuk saling tolong menolong dalam hal
kebaikan dan keuntungan bersama.
Firman Allah SWT. :
وَتَعَاوَنُوْاعَلَى
الْبِرِّوَالتَّقْوىوَلَاتَعَاوَنُوْعَلَىاْلاِثْمِ وَاْلعُدْوَانِ …
“Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” (QS. Al Maidah :2).
2.
Macam-Macam Syirkah
Secara garis besar syirkah dibedakan menjadi dua
yaitu :
Syirkah amlak (Syirkah
kepemilikan) Syirkah amlak ini terwujud karena wasiat atau kondisi lain yang
menyebabkan kepemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih.
Syirkah uqud
(Syirkah kontrak atau kesepakatan), Syirkah uqud ini terjadi karena kesepakatan
dua orang atau lebih kerjasama dalam syarikat modal untuk usaha, keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama. Syirkah uqud
dibedakan menjadi empat macam :
a. Syirkah ‘inan (harta).
Syirkah harta adalah akad kerjasama dalam bidang
permodalan sehingga terkumpul sejumlah modal yang memadai untuk diniagakan
supaya mendapat keuntungan.
Sabda Nabi SAW. dari Abu Hurairah ra. :
قَالَ
رَسُوْلُ اللهِ ص م قَالَ الله ُتَعَالَى:اِنَّ الله َيَقُوْلُ
اَنَاثَالِثُالشَّرِيْكَيْنِ مَالمَ ْيَخُنْ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَاِذَاخَانَهُ
خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا (رواه ابو داودوصححه الحاكم)
Rasulullah SAW. bersabda : Firman Allah SWT. Saya adalah pihak ketiga dari
dua orang yang berserikat selama seorang diantaranya tidak mengkhianati
yang lain. Maka apabila berkhianat salah seorang diantara keduanya, saya keluar
dari perserikatannya itu” (HR. Abu Daud dan Hakim menshohihkannya).
Sebagian fuqaha, terutama fuqaha Irak
berpendapat bahwa syirkah dagang ini disebut juga dengan qiradl.
b. Syirkah a’mal (serikat kerja/ syirkah ‘abdan)
Syirkah a’mal adalah suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih yang
bergerak dalam bidang jasa atau pelayanan pekerjaan dan keuntungan dibagi
menurut kesepakatan.
Contoh : CV, NP, Firma, Koperasi dan lain-lain.
c.
Syirkah Muwafadah
Syirkah Muwafadah adalah kontrak kerjasama dua orang atau lebih, dengan
syarat kesamaan modal, kerja, tanggung jawab, beban hutang dan kesamaan laba
yang didapat.
d. Syirkah Wujuh (Syirkah keahlian)
Syirkah wujuh adalah kontrak antara dua orang
atau lebih yang memiliki reputasi baik serta ahli dalam bisnis.
3.
Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun dan syarat syirkah dapat dikemukakan
sebagai berikut :
Anggota yang berserikat, dengan syarat : baligh, berakal sehat, atas
kehendak sendiri dan baligh, berakal sehat, atas kehendak sendiri dan
mengetahui pokok-pokok perjanjian.
Pokok-pokok perjanjian syaratnya :
- Modal pokok yang dioperasikan harus jelas.
- Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus jelas.
- Yang disyarikat kerjakan (obyeknya) tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam.
Sighat, dengan Syarat : Akad kerjasama harus jelas sesuai dengan
perjanjian.
Syarat dan Rukun Syirkah
a. Baligh ,berakal sehat dan merdeka
b. Modal yang dihasilkan hendaknya jelas
c. Harus mencampur harta kedua belah pihak
d. Untung dan rugi diatur dengan perbandingan modal
e. Anggota yang bersyikah
f. Pokok perjanjian
g. Sighat
4.
Hukum dan Hikmah Syirkah
Pada prinsipnya bahwa hukum syirkah adalah
mubah/boleh dan sah-sah saja. Namun apabila terjadi penyimpangan oleh anggota
syarikat, maka hal ini sudah tidak benar. Adapunmengenai syirkah kerja menurut
madzhab Syafi’i tidak sah dan tidak boleh.Mengenai hikmah syirkah dapat
dikemukakan disini sebagai berikut :
a. Dapat meningkatkan daya saing produksi, karena ada tambahan modal yang
besar.
b. Dapat meningkatkan hubungan kerja sama antar kelompok sosial dan
hubungan bilateral
antar negara.
c. Dapat memberi kesempatan kepada pihak yang lemah ekonominya untuk
bekerjasama
dengan pihak ekonomi yang lebih kuat
d. Dapat menampung tenaga kerja, sehingga akan dapat mengurangi
pengangguran.
6.
Mudharabah
1.
Pengertian Mudharabah
Menurut bahasa, kata mudharabah berasal dari adh-dharbu fil ardhi, yaitu
melakukan perjalanan untuk berniaga.
Allah swt berfirman: “Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah.” (QS Al-Muzzammil : 20).
Mudharabah disebut juga qiradh, berasal dari kata qardh yang berarti qath
(sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk
diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya.
Menurut istilah fiqh, kata mudharabah adalah akad perjanjian antara
kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain
supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai
dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah III: 212).
2.
Pensyari’atan Mudharabah
Al-Ijma’ hal. 124, Ibnul Mundzir menulis, “Para ulama’ sepakat atas ukan
qiradh, pemberian modal untuk berdagang dengan memperoleh bagian laba dalam
bentuk Dinar dan Dirham. Mereka juga sepakat bahwa si pengelola modal boleh
memberi syarat perolehan sepertiga atau separuh dari laba, atau jumlah yang
telah disepakati mereka berdua, setelah sebelumnya segala sesuatunya sudah
menjadi clear, jelas.”
Bentuk kerjasama model ini sudah pernah dipraktikkan oleh para
sahabat Rasulullah saw.
Dari Zaid bin Aslam dari bapaknya bahwa ia pernah bercerita, “Dua
anak Umar bin Khattab ra, Abdullah dan Ubaidullah keluar pergi bersama pasukan
menuju negeri Irak. Tatkala mereka kembali dari sana, mereka melewati Abu Musa
al-Asy’ari yang sedang menjabat sebagai Amir, gubernur di Bashrah. Setelah ia
mengucapkan selamat datang dan menyambutnya, kemudian berkata kepada mereka
berdua, “Kalau saya tetapkan suatu urusan untuk kalian yang sangat bermanfa’at
bagi kalian, tentu aku mampu menetapkannya.” Kemudian ia melanjutkan, “Baik, di
sini ada sebagian harta kekayaan Allah. Saya bermaksud hendak mengirimnya
(melalui kalian) kepada Amirul Mukminin, yaitu saya pinjamkan kepada kalian
berdua, lalu (boleh) kalian belikan barang dagangan dari Irak ini, kemudian
dijual di Madinah, lalu modal pokoknya kalian serahkan kepada Amirul Mukminin,
sedangkan labanya untuk kalian berdua.” Mereka berdua menjawab, “Kami ingin
melaksanakannya.” Setelah harta negara itu diserahkan kepada keduanya, kemudian
ia menulis sepucuk surat kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab agar menerima
harta itu dari mereka berdua. Tatkala mereka tiba (di Madinah), maka
mereka mendapatkan keuntungan. Kemudian ketika keduanya menyerahkan harta
negara itu kepada Umar, maka Umar bertanya kepada mereka, “Apakah setiap pasukan
mendapatkan pinjaman seperti yang dipinjamkan kepada kalian berdua?” Jawab
mereka, “Tidak.” Kemudian Umar bin Khattab menyatakan, “Karena dua anak Amirul
Mukminin, maka ia (Abu Musa) telah meminjamkan harta negara kepada kalian
berdua! Serahkanlah kepada negara modal dan keuntungannya!” Adapun Abdullah
diam membisu, sedangkan Ubaidullah, “Wahai Amirul Mukminin, tidak sepatutnya
engkau menetapkan seperti ini? (Karena) andaikata modal ini berkurang atau
musnah, sudah barang tentu kamilah yang bertanggung jawab untuk menggantinya.”
Kemudian Umar menyatakan, “Kalian harus mengembalikan seluruhnya!” Kemudian
Abdullah diam seribu bahasa, lalu Ubaidullah mengulangi pernyataannya. Maka
seorang laki-laki yang termasuk rekan dekat Umar berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
alangkah baiknya kalau kau jadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar
menjawab, “Kalau begitu, kujadikan modal itu sebagai qiradh.” Kemudian Umar
mengambil modalnya dan separuh dari keuntungannya. Sedangkan Abdullah dan
Ubaidullah, dua anak Umar bin Khattab mendapatkan separuh dari keuntungan.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 291, Muwaththa’ Imam Malik halaman 479 no: 1385 dan
Baihaqi VI: 110).
3.
Orang yang Mengembangkan Modal Harus Amanah
Mudharabah hukumnya jaiz, boleh baik secara mutlak maupun muqayyad
(terikat/bersyarat), dan pihak pengembang modal tidak mesti menanggung kerugian
kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir
menegaskan, “Para ulama’ sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengembang
modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara
kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125).
Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah saw, bahwa Beliau pernah
mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan
bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada
binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan
(pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar
salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.”
(Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Daruquthni II: 63 no: 242, Baihaqi VI:
111).
7.
Musaqat
1.
Pengertian Musaqat
Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon tertentu kepada orang yang
sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat bagian tertentu dari
hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
2.
Pensyari’atan Musaqat
Dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw bekerjasama dengan penduduk Khaibar
dengan syarat mereka mendapat bagian dari hasil buah kurmanya atas tanaman
lainnya. (Muttafaqun’alaih).
Dari Abu Hurairah ra, bahwa orang-orang Anshar berkata kepada Nabi
saw “Bagilah pohon kurma itu antara kami dan saudara-saudara kami.” (Lalu)
Beliau menjawab, “Tidak.” Kemudian mereka berkata, “Serahkan kepada kami untuk
menggarapnya, sedang hasilnya kami atur bersama.” Mereka pun berkata, “Kami
akan bersikap sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami ta’at.”
(Muttafaqun’alaih: Irwa-ul Ghalil no: 1471 dan Fathul Bari V: 8 no: 2325).
8.
Muzaraah dan Mukhabarah
Dalam bahasa Indonesia arti dari
muzara’ah dan mukhabarah adalah pertanian. Menurut Taqiyyudin yang mengungkap
pendapat Al-Qadhi Abu Thayib, muzara’ah dan mukhabarah mempunyai satu
pengertian. Walaupun mempunyai satu pengertian tetapi kedua istilah tersebut
mempunyai dua arti yang pertama tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman),
maksudnya adalah modal (al-hadzar ). Makna yang pertama adalah makna yang majaz
dan makna yan kedua adalah makna yang hakiki.
Muzara’ah dan mukhabarah memiliki
makna yang berbeda, pendapat tersebut dikemukakan oleh al-Rafi dan al-Nawawi.
Sedangkan menurut istilah definisi para ulama yang dikemukakan oleh Abd
al-Rahman al-Zaziri pun berbeda Secara terminologi, terdapat beberapa definisi
para ulama, menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam pertanian, ulama
Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang
petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam
Syafi’I mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan
hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah 2 atau
lebih dikenal dengan istilah al-Mukhabarah. Sehingga dapat disimpulkan bahawa
arti dari Muzara’ah ialah mengerjakan tanah (orang lain) seperti sawah atau
ladang dengan imbalan sebagian hasilnya (seperdua, sepertiga atau seperempat).
Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya ditanggung pemilik tanah.
Mukhabarah ialah mengerjakan tanah
(orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan.
Seperti yang telah disebutkan bahwa
munculnya pengertian muzara’ah dan mukhabarah dengan ta’rif yang berbeda
tersebut karena adanya ulama yang membedakan antara arti muzara’ah dan
mukhabarah, yaitu Imam Rafi’I berdasar dhahir nash Imam Syafi’i. Sedangkan
ulama yang menyamakan ta’rif muzara’ah dan mukhabarah diantaranya Nawawi, Qadhi
Abu Thayyib, Imam Jauhari, Al Bandaniji. Mengartikan sama dengan memberi
ketetntuan: usaha mengerjakan tanah (orang lain) yang hasilnya dibagi.
1.
Pengertian Muzaraah
Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola tanah dengan mendapat sebagian
hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah pemilik tanah memberi hak
mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya.
2.
Pengertian Mukhabarah
Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang dengan petani dan benih tanaman dari
pihak petani.Pembagian hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak secara adil.
Perbedaannya hanya terletak pada benih tanaman.Jika muzarah berasal dari
pemilik tanah maka dalam mukhabarah dari pihak penggarap.
3.
Hukum Muzaraah dan Mukhabarah
Hukum asal muzarah dan mukhabarah adalah mubah.Namun bila dikhawatirkan ada
kecurangan dari salah satu pihak , maka sebaiknya tidak dilaksanakan.
4.
Zakat hasil Muzaraah dan Mukhabarah
Jika berasal dari siapa asal benih tanaman,maka dalam muzarah yang wajib
zakat pemilik tanah.Karna dia yang menenam,sedangkan penggarap hanya mengambil
upah kerja,sedangkan mukhabarah sebaliknya.Jika berasal dari keduanya wajib
keduanya zakat.
5.
Pensyari’atan Muzaraah dan Mukhabarah
Abdullah bin Umar ra, bahwa ia
pernah mengabarkan kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan
syarat bagi dua hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul
Bari VI: 13 no: 2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no:
3391, Ibnu Majah II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin
Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah
ke Madinah adalah petani dengan cara bagi hasil sepertiga dan seperempat. Di
antaranya lagi yang telah melaksanakan muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar,
Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
6.
Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah
ditanggung oleh si pemilik tanah, atau oleh petani yang mengelolanya, atau
ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam
Bukhari menuturkan, “Umar pernah n orang-orang untuk menggarap tanah dengan
ketentuan; jika Umar yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari
hasilnya dan jika mereka yang menanggung benihnya maka mereka mendapatkan
begitu juga.” Lebih lanjut Imam Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak
mengapa jika tanah yang digarap adalah milik salah seorang di antara mereka,
lalu mereka berdua menanggung bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya
dibagi dua. Ini juga menjadi pendapat az-Zuhri.”
7.
Yang Tidak Boleh Dilakukan dalam Muzar’aah
Dalam muzara’ah, tidak boleh
mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini tanah dan sebidang tanah lainnya
untuk sang petani. Sebagaimana sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan,
“Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’
bin Khadij, ia bercerita, “Telah mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa
mereka pernah menyewakan tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang
tumbuh di parit-parit, dengan sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh
si pemilik tanah. Maka Nabi saw melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin
Qais) bertanya kepada Rafi’, “Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka
jawab Rafi’, “Tidak mengapa sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata,
“Yang dilarang dari hal tersebut adalah kalau orang-orang yang mempunyai
pengetahuan perihal halal dan haram memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka
tidak membolehkannya karena di dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul
Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no: 2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa
perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata,
“Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin Khadij perihal menyewakan tanah dengan
emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak mengapa. Sesungguhnya pada periode
Rasulullah orang-orang hanya menyewakan tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh
di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi parit, dan beberapa tanaman lain.
Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan yang itu selamat sedang yang ini
musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu) sewaan melainkan ini, oleh
sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa) dengan sesuatu yang pasti
dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil V: 302, Muslim
III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376 dan Nasa’i VII :
43).
Para pemilik
tanah dapat memanfaatkan tanahnya sbb:
a. Ditanami untuk kepentingan
keluarga dan disedekahkan
b. Meminjamkan kepada fakir
miskin.
c. Digarap melalui muzara’ah,
mukharabah, dan musaqah.
Muzara’ah: paruhan hasil sawah
antara pemilik dan penggarap, benih dari pemilik.
Mukharabah: benih dari
penggarap.
Ketentuan:
+ Pemilik dan penggarap balig,
akal sehat, dan jujur.
+ Digarap betul-betul.
+ Ditentukan lamanya masa
penggarapan.
+ Besarnya paruhan ladang untuk pemilih dan
penggarap ditentukan berdasar musyawarah.
+ Pemilik dan penggarap
menaati ketentuan-ketentuan.
9.
Salam
1.
Pengertian Salam
Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna dengan
kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli barang
secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar di
muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).
2.
Pensyari’atan Salam
Allah swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.” (QS al-Baqarah: 282).
Ibnu Abbas ra berkata, “Saya
bersaksi bahwa jual beli secara ijon yang jangka waktunya ditentukan sampai
waktu tertentu, benar-benar telah dihalalkan Allah dalam Kitab-Nya, dan padanya
Dia membolehkannya.” Kemudian ia membaca ayat di atas. (Shahih: Irwa-ul Ghalil
no: 1369, Mustadrak Hakim II: 286 dan Baihaqi VI: 18).
Darinya (Ibnu Abbas) ra, ia
berkata, “Nabi saw datang di Madinah, sedang mereka biasa membeli kurma secara
ijon, dua tahun dan tiga tahun, maka tentukanlah dengan takaran tertentu,
timbangan tertentu, buat satu masa tertentu.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
IV: 429 no: 2240, Muslim III: 1226 no: 1604, Tirmidzi II: 387 no: 1325, ‘Aunul
Ma’bud IX: 348 no: 3446, Ibnu Majah II: 765 no: 2280 dan Nasa’i VI: 290).
3.
Jual Beli Secara Salam dengan Orang yang Tidak Punya
Modal
Dalam jual beli secara ijon tidak
dipersyaratkan pihak penjual secara ijon harus sebagai pemilik penuh.
Dari Muhammad bin Abi al-Mujahid, ia
berkata: Saya pernah diutus oleh Abdullah bin Syaddad dan Abu Burdah untuk
menemui Abdullah bin Abi Aufa ra, maka mereka berdua berkata, “Tanyakanlah
kepada Abdullah bin Abi Aufa, apakah para sahabat Nabi saw pada masa Beliau saw
biasa membeli hinthah secara ijon?” (Setelah ditanya), Abdullah bin Abi Aufa
menjawab, “Dahulu kami biasa membeli hinthah, sya’ir dan minyak kepada petani
dari Syam secara ijon dengan takaran tertentu dan sampai waktu tertentu
(pula).” Saya bertanya, “Kepada orang yang punya modal pokok?” Jawab Abdullah,
“Pada waktu itu, kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka.” Kemudian saya
diutus oleh Abu Burdah menemui Abdurrahman bin Abza, “Adalah para sahabat Nabi
saw biasa membeli barang secara ijon pada masa Beliau saw namun kami tidak
pernah bertanya kepada mereka, apakah mereka punya ladang ataukah tidak.”
(Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1370, Fathul Bari IV: 430 no: 2244 dan lafadz ini
bagi Imam Bukhari, ‘Aunul Ma’bud IX: 349 no: 3447, Nasa’I VII: 290 dan Ibnu
Majah II: 766 no: 2282).
BAB IV
PEMBAHASAN
MANFAAT DAN
HIKMAH DARI SETIAP KONSEP PEREKONOMIAN DALAM ISLAM
A. Hikmah Jual Beli
Maha suci Allah dalam menjadikan
setiap peraturan ciptaannya penuh dengan hikmah, begitu juga dengan
pensyariatan jual beli ini. Di sini saya akannyatakan hikmah pensyariatan jual
beli dari 3 sudut yaitu:
1.
Individu
Penjual
(a) Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah
dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
(b) Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya
khianat mengkhianati antara satu sama lain.
Pembeli
(a) Berpuas hati di atas urusniaga yang
dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
(b) Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di
atas vvvurusniaga yang berlandaskan syariat Islam
(c) Terhindar daripada siksaan api
neraka.
2. Masyarakat
(a) Menyenangkan manusia
bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
(b) Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh
mencerobohi dalam usaha memiliki harta
(c) Menggalakkan orang ramai supaya hidup
berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
(d) Menata struktur kehidupan masyarakat yang
menghargai hak milik orang lain.
(e) Menumbuhkan ketentraman dan kebahagiaan.
3.
Negara
(a) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi
negara ke tahap yang lebih baik.
(b) Dapat menarik pelabur asing
untuk melabur dalam ekonomi negara.
(c) Menggalakkan persaingan ekonomi
yang sihat sesama negara islam
B. Hikmah Khiyar
1. Dapat membuat aqad jual beli
berlangsung prinsip Islam.
2. Mendidik masyarakat agar
berhati-hati dalam jual beli.
3. Terhindar dari unsur
penipuan.
C. Hikmah Ijarah
Hikmah disyari’atkannya ijarah dalam
bentuk pekerjaan atau upah mengupah adalah karena dibutuhkan dalam kehiduan
manusia.[56] Tujuan dibolehkan ijarah pada dasarnya adalah untuk mendapatkan
keuntungan materil. Namun itu bukanlah tujuan akhir karena usaha yang dilakukan
atau upah yang diterima merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Adapun hikmah diadakannya ijarah
antara lain:
1.
Membina ketentraman dan kebahagiaan
Dengan adanya ijarah akan mampu
membina kerja sama antara mu’jir dan mus’tajir. Sehingga akan menciptakan
kedamaian dihati mereka. Dengan diterimanya upah dari orang yang memakai jasa,
maka yang memberi jasa dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apabila
kebutuhan hidup terpenuhi maka musta’jir tidak lagi resah ketika hendak
beribadah kepada Allah.
Dengan transaksi upah-mengupah dapat
berdampak positif terhadap masyarakat terutama dibidang ekonomi, karena
masyarakat dapat mencapai kesejahteraan yang lebih tinggi. Bila masing-masing
individu dalam suatu masyarakat itu lebih dapat memenuhi kebutuhannya, maka
masyarakat itu akan tentram dan aman.
2.
Memenuhi nafkah keluarga
Salah satu kewajiban seorang muslim
adalah memberikan nafkah kepada keluarganya, yang meliputi istri, anak-anak dan
tanggung jawab lainnya. Dengan adanya upah yang diterima musta’jir maka kewajiban
tersebut dapat dipenuhi. Kewajiban itu sebagaimana yang terdapat dalam surat
al-Baqarah ayat 233 sebagai berikut:
Artinya: ”Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf ”.[58]
3.
Memenuhi hajat hidup masyarakat
Dengan adanya transaksi ijarah
khususnya tentang pemakaian jasa, maka akan mampu memenuhi hajat hidup
masyarkat baik yang ikut bekerja maupun yang menikmati hasil proyek tersebut.
Maka ijarah merupakan akad yang mempunyai unsur tolong menolong antar sesama.
4.
Menolak kemungkaran
Diantara tujuan ideal berusaha
adalah dapat menolak kemungkaran yang kemungkinan besar akan dilakukan
oleh yang menganggur.[59]Pada intinya hikmah ijarah yaitu untuk memudahkan
manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
D. Hikmah Jialah
Berlomba dalam kebaikan,menemukan
orang yang berprestasi,dan menumbuhkan semangat percaya diri.
E. Hikmah Syirkah
1.
Terciptanya kekuatan dan kemajuan khususnya di bidang
ekonomi.
2.
Pemikiran untuk kemajuan perusahaan bisa lebih mantap,
karena hasil pemikiran dari banyak orang.
3.
Semakin terjalinnya rasa persaudaraan dan rasa
solidaritas untuk kemajuan bersama.
4.
Menambah lapangan pekerjaan.
F. Hikmah Mudharabah
a.
Mewujudkan persaudaraan dan persatuan
b.
Mengurangi/menghilangkan pengangguran
c.
Memberikan pertolongan pada fakkir miskin untuk dapat
hidup mandiri
G. Hikmah Musaqat
Terwujud kerjasama antara si kaya
dan si miskin, mengikuti sunah rasulullah, memberikan lapangan kerja mengikuti
sunah rasullah,dan menghindarkan penipuan dar pemilik kebun.
H. Hikmah Muzaraah dan Mukhabarah
Memberi pertolongan kepada penggarap
untuk mempunyai penghasilan,harta tidak beredar diorang kaya saja,dan mengikuti
sunah rasullah.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ekonomi Islam merupakan ilmu yang
mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya diatur berdasarkan aturan
agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum dalam rukun iman
dan rukun Islam. Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan
usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam
memenuhi segala kebutuhan hidupnya.
Transaksi ekonomi maksudnya
perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli,
sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya
transaksi jual beli. Macam-macam penerapan transaksi ekonomi dalam Islam :
1.
Jual Beli : Jual beli ialah persetujuan saling
mengikat antara penjual (yakni pihak yang menyerahkan/menjual barang) dan
pembeli (sebagai pihak yang membayar/membeli barang yang dijual).
2.
Khiyar : Khiyar ialah hak memilih bagi si penjual dan
si pembeli untuk meneruskan jual belinya atau membatalkan karena adanya sesuatu
hal, misalnya ada cacat pada barang.
3.
Ijarah : Ijarah, menurut bahasa, adalah al-itsabah
(memberi upah). Misalnya aajartuhu, baik dibaca panjang atau pendek, yaitu
memberi upah. Sedangkan menurut istilah fiqih ialah pemberian hak pemanfa’atan
dengan syarat ada imbalan. (Fathul Bari IV: 439).
4.
Jialah : Ji’alah menurut Bahasa: “Barang yang
dijanjikan untuk seseorang atas janji sesuatu yang akan dia kerjakan”.Menurut
Istilah syara’: Tindakan penetapan orang yang sah pentasarrufannya tentang
suatu ganti yang telah diketahui jelas atas pekerjaan yang ditentukan.
5.
Syirkah : Syirkah adalah Suatu perjanjian kerjasama
antara 2 orang tau lebih dalam bidang usaha modal/jasa dengan syarat bagi hasil
keuntungan/kerugian dalam perjanjiannya.
6.
Mudharabah : Menurut istilah fiqh, kata mudharabah
adalah akad perjanjian antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya
memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya
dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati (Fiqhus Sunnah
III: 212).
7.
Musaqat : Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon
tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat
bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
8.
Muzara’ah : Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola
tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah
pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat
bagi hasil atau semisalnya.
9.
Mukhabarah : Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang
dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut
kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada
benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah
dari pihak penggarap.
10. Salam : Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna
dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli
barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar
di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).
7.
Musaqat : Musaaqat adalah menyerahkan sejumlah pohon
tertentu kepada orang yang sanggup memeliharanya dengan syarat ia akan mendapat
bagian tertentu dari hasilnya, misalnya separuh atau semisalnya.
8.
Muzara’ah : Kata muzara’ah adalah kerjasama mengelola
tanah dengan mendapat sebagian hasilnya. Sedangkan menurut istilah fiqh ialah
pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat
bagi hasil atau semisalnya.
9.
Mukhabarah : Mukhabarah yaitu antara pemilik ladang
dengan petani dan benih tanaman dari pihak petani.Pembagian hasil menurut
kesepakatan kedua belah pihak secara adil. Perbedaannya hanya terletak pada
benih tanaman.Jika muzarah berasal dari pemilik tanah maka dalam mukhabarah
dari pihak penggarap.
10. Salam : Kata salam, huruf sin dan lam diberi harakat fathah, adalah semakna
dengan kata salaf. Sedangkan hakikat salam menurut syar’i adalah jual beli
barang secara ijon dengan menentukan jenisnya ketika akad dan harganya dibayar
di muka. (Fiqhus Sunnah III: 171).
0 Komentar untuk "PEREKONOMIAN DALAM ISLAM "