“TAFSIR AYAT AL – QUR'AN TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT”


“TAFSIR AYAT AL – QUR'AN TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Tafsir Hadist Tarbawi
Dosen Pengampu : M. Luthfi Afif Al – Azhari , M.Pd.I




            Disusun Oleh :

Catur Aditya






Institut Agama Islam Ngawi
Fakultas Tarbiyah




KATA PENGANTAR

            Puji serta syukur marilah kita panjatkan kepada kehadirat Allah SWT yang telah memberikan begitu banyak nikmat yang mana makhluk-Nya pun tidak akan menyadari begitu banyak nikmat yang telah didapatkan dari Allah SWT. Selain itu, penulis juga merasa sangat bersyukur karena telah mendapatkan hidayah-Nya baik iman maupun islam.
            Dengan nikmat dan hidayah-Nya pula kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah Tafsir Hadist Tarbawi. Penulis sampaikan terimakasih sebesar-besarnya kepada dosen pengampu mata kuliah Tafsir Hadist Tarbawi, dan semua pihak yang turut membantu proses penyusunan makalah ini.
            Penulis menyadari dalam makalah ini masih begitu banyak kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan baik dari isinya maupun struktur penulisannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran positif untuk perbaikan dikemudian hari.
            Demikian semoga makalah ini memberikan manfaat umumnya pada para pembaca dan khususnya bagi penulis sendiri. Aamiin.


Ngawi, 02 April 2017

                                                                                                     Penulis

 DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………….     i
KATA PENGANTAR ………………………………………………………………..       ii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………        iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………….       1
1.      Rumusan Masalah……………………………………………………......…………….       2
2.      Tujuan Masalah…………………………………………………………….…………..       2
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………      3
Pengertian Masyarakat……………………………………………………......………..       2
Ayat-Ayat Al-Quran Tentang Pembinaan Masyarakat………………......................….       3
Ayat Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat : 9-13……………………........................……       3
Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat : 91-92…………………………………..................           10
Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan Masyarakat…………..................……….          12
BAB III PENUTUP………………………………………………………….....……..       14
1.      Kesimpulan……………………………………………………....…………………..           14
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………………. iv





BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk individual juga sekaligus makhluk sosial yang senantiasa dan harus berinteraksi dengan manusia lainnya, dan membutuhkan lingkungan di mana ia berada. Setiap manusia menginginkan adanya lingkungan sosial yang kondusif, yang ramah, aman, tenteram dan damai saling menghargai dan menyayangi antar anggota masyarakat sekitarnya. Lingkungan yang demikian itulah yang didambakan oleh manusia, sehingga setiap personal di dalamnya dapat melakukan aktifitasnya dengan tenang tanpa terganggu dengan segala sesuatu yang dapat merugikan.
Pemakalah akan sedikit memaparkan materi tentang pengertian pembinaan masyarakat dan cara pembinaan masyarakat.
2.      Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Masyarakat ?
2.      Apa Ayat –Ayat Al-Qur’an Tentang Pembinaan Masyarakat ?
3.      Apa Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan Masyarakat ?
3.      Tujuan Makalah
1.      Mengetahui Pengertian Masyarakat.
2.      Mengetahui Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Pembinaan
3.      Mengetahui Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan Masyarakat.





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Masyarakat
Menurut Al-Qur’an Istilah masayarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah  ummatqaumsyu’ubqabail dan lain sebagainya. Istilah ummat dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :
 “ Kamu sekalian adalah ummat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT “. (QS. Ali Imran : 110)
Kata ummah pada ayat tersebut, berasal dari kata ammayaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam  Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri.[1]
Abu Ahmadi dalam bukunya “ilmu sosial dasar” mendefinikan bahwa Masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh satu sama lain.[2]
Kelompok dimana orang yang berada didalamnya terikat oleh tanggung jawab dan oleh identitas bersama.[3]
Inti dari pendapat- pendapat tersebut, adalah bahwa masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
2.      Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Pembinaan Masyarakat
Ayat Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat : 9-13
Artinya : (9) “Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain , maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu. Sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah SWT), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

Tafsir
يقول تعالى ذكره: وإن طائفتان من أهل الإيمان اقتتلوا، فأصلحوا أيها المؤمنون بينهما بالدعاء إلى حكم كتاب الله، والرضا بما فيه لهما وعليهما، وذلك هو الإصلاح بينهما بالعدل( فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأخْرَى ) يقول: فإن أبَت إحدى هاتين الطائفتين الإجابة إلى حكم كتاب الله له، وعليه وتعدّت ما جعل الله عدلا بين خلقه، وأجابت الأخرى منهما( فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي ) يقول: فقاتلوا التي تعتدي، وتأبى الإجابة إلى حكم الله( حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ ) يقول: حتى ترجع إلى حكم الله الذي حكم في كتابه بين خلقه
( فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ ) يقول: فإن رجعت الباغية بعد قتالكم إياهم إلى الرضا بحكم الله في كتابه، فأصلحوا بينها وبين الطائفة الأخرى التي قاتلتها بالعدل: يعني بالإنصاف بينهما، وذلك حكم الله في كتابه الذي جعله عدلا بين خلقه.
حدثني يونس، قال: أخبرنا ابن وهب، قال: قال ابن زيد في قوله( وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا )… إلى آخر الآية، قال: هذا أمر من الله أمر به الوُلاة كهيئة ما تكون العصبة بين الناس، وأمرهم أن يصلحوا بينهما، فإن أبوْا قاتل الفئة الباغية، حتى ترجع إلى أمر الله، فإذا رجعت أصلحوا بينهما، وأخبروهم أن المؤمنين إخوة، فأصلحوا بين أخويكم; قال: ولا يقاتل الفئة الباغية إلا الإمام.
(9) Allah SWT menerangkan bahwa jika ada dua golongan orang mukmin berperang, maka harus diusahakan perdamaian antara kedua pihak yang bermusuhan itu dengan jalan berdamai sesuai ketentuan hukum Allah SWT berdasarkan keadilan untuk kemaslahatan mereka yang bersangkutan. Jika setelah diusahakan perdamaian itu masih ada yang membangkang dan tetap juga berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka golongan yang agresif yang berbuat aniaya itu harus diperangi sehingga mereka kembali untuk menerima hukum Allah SWT.
Jika golongan yang membangkang itu telah tunduk dan kembali kepada perintah Allah SWT, maka kedua golongan yang tadinya bermusuhan itu harus diperlakukan dengan adil dan bijaksana, penuh kesadaran sehingga tidak terulang lagi permusuhan seperti itu di masa yang akan datang. Allah SWT memerintahkan supaya mereka tetap melakukan keadilan dalam segala urusan mereka, karena Allah SWT menyukainya dan akan memberi pahala kepada orang-orang yang berlaku adil dalam segala urusan.
Artinya : (10) “Sesungguhnya orang-orang yang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (orang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah SWT agar kamu mendapat rahmat.”
 Tafsir
وقوله: { إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ } أي: الجميع إخوة في الدين، كما قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه” (5) . وفي الصحيح: “والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه” (6) . وفي الصحيح أيضا: “إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك: آمين، ولك بمثله” (7) . والأحاديث في هذا كثيرة، وفي الصحيح: “مثل المؤمنين في تَوادِّهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد، إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحُمَّى والسَّهَر”. وفي الصحيح أيضا: “المؤمن للمؤمن كالبنيان، يشد بعضه بعضاوشبك بين أصابعه (8) وقوله: { فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ } يعني: الفئتين المقتتلتين، { وَاتَّقُوا اللَّهَ } أي: في جميع أموركم { لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ } ، وهذا تحقيق منه تعالى للرحمة لمن اتقاه.
(10) Dalam ayat ini, Allah SWT menerangkan bahwa sesungguhnya orang-orang mukmin semuanya bersaudara seperti hubungan persaudaraan antara nasab, karena sama-sama menganut unsur keimanan yang sama dan kekal dalam syurga. Dalam sebuah hadist diriwayatkan:
الُمسْلِمُ أَخُوالمُسْلِمِ لاَ يظلِمُهُ وَلَا يَسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَا جَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَا جَتِهِ وَمَنْ فَرَجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَجَ اللهُ عَنْهُ كُربَةً مِنْ كُربَا تٍ يَومِ الْقِيَامَةِ وَمَن سَتَرَمُسْلِمًا سَتَرَهُ الله يَومَ القِيامَةِ. (رواه البخاري عن عبد الله بن عمر)
Artinya:
“Muslim itu adalah saudara muslim yang lain, jangan berbuat aniaya dan jangan membiarkannya melakukan aniaya. Orang yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah SWT membantu kebutuhannya. Orang yang melonggarkan satu kesulitan dari seorang muslim, maka Allah SWT melonggarkan satu kesulitan di antara kesulitan-kesulitannya pada hari Kiamat. Orang yang menutupi aib saudaranya, maka Allah SWT akan menutupi kekurangannya pada hari kiamat.” (Riwayat al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘umar)
Pada hadist sahih yang lain dinyatakan:
اِذَا دَعَا المُسْلِمُ لِأَخِيهِ بِضَهْرِ الغَيبِ قَالَ المَلَكُ : أَمِينَ وَلَكَ بِمِثْلِهِ. (رواه مسلم عن عبي الدرداء)
Artinya:
“Apabila seorang muslim mendo’akan saudaranya yang gaib, maka malaikat berkata, “Amin, dan semoga kamu pun mendapat seperti itu.” (Riwayat Muslim dan Abu ad-Darda’)
Karena persaudaraan itu mendorong ke arah perdamaian, maka Allah SWT menganjurkan agar terus diusahakan di antara saudara seagama seperti perdamaian di antara saudara keseturunan, supaya mereka tetap memelihara  ketakwaan kepada Allah SWT. Mudah-mudahan mereka memperoleh rahmat dan ampunan Allah SWT sebagai balasan terhadap usaha-usaha perdamaian dan ketakwaan mereka. Dari ayat tersebut dapat dipahami perlu adanya kekuatan sebagai penengah untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai.
Sebab Nuzul
Diriwayatkan oleh Qatadah bahwa ayat ini diturunkan berhubungan dengan peristiwa dua orang dari sahabat Anshar yang bersengketa tentang suatu urusan hak milik. Salah seorang dari mereka berkata bahwa ia akan mengambil haknya dari yang lain dengan paksaan. Ia mengancam demikian karena banyak pengikutnya, sedangkan yang satu lagi mengajak dia supaya minta keputusan Nabi sw. Ia tetap menolak sehingga perkaranya hampir-hampir menimbulkan perkelahian dengan tangan dan terompah, meskipun tidak sampai menggunakan senjata tajam.
(LARANGAN SALING MENGEJEK DAN BERPRASANGKA)
Artinya:
            (11) Wahai orang-orang  yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokan) lebih baik dari mereka  (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Tafsir
ينهى تعالى عن السخرية بالناس، وهو احتقارهم والاستهزاء بهم، كما ثبت في الصحيح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: “الكِبْر بطر الحق وغَمْص الناسويروى: “وغمط الناس” (1) والمراد من ذلك: احتقارهم واستصغارهم، وهذا حرام، فإنه قد يكون المحتقر أعظم قدرا عند الله وأحب إليه من الساخر منه المحتقر له؛ ولهذا قال: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ } ، فنص على نهي الرجال وعطف بنهي النساء.
وقوله: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا تلمزوا الناس . والهمَّاز اللَّماز من الرجال مذموم ملعون، كما قال [تعالى] : (2) { وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ } [الهمزة : 1] ، فالهمز بالفعل واللمز بالقول، كما قال: { هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ } [القلم : 11] أي: يحتقر الناس ويهمزهم طاعنًا عليهم، ويمشي بينهم بالنميمة وهي: اللمز بالمقال؛ ولهذا قال هاهنا: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } ، كما قال: { وَلا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ } [النساء : 29] أي: لا يقتل بعضكم بعضا (3) .
قال ابن عباس، ومجاهد، وسعيد بن جبير، وقتادة، ومقاتل بن حَيَّان: { وَلا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ } أي: لا يطعن بعضكم على بعض.
وقوله: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } أي: لا تتداعوا بالألقاب، وهي التي يسوء الشخص سماعها.
قال (4) الإمام أحمد: حدثنا إسماعيل، حدثنا داود بن أبي هند، عن الشعبي قال: حدثني أبو جَبِيرة (5) بن الضحاك قال: فينا نزلت في بني سلمة: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ } قال: قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة وليس فينا رجل إلا وله اسمان أو ثلاثة، فكان إذا دُعِىَ أحد منهم باسم من تلك الأسماء قالوا: يا رسول الله، إنه يغضب من هذا. فنزلت: { وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ }
ورواه أبو داود عن موسى بن إسماعيل، عن وُهَيْب، عن داود، به (6) .
وقوله: { بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإيمَانِ } أي: بئس الصفة والاسم الفسوق وهو: التنابز بالألقاب، كما كان أهل الجاهلية يتناعتون، بعدما دخلتم (7) في الإسلام وعقلتموه، { وَمَنْ لَمْ يَتُبْ }

            (11) Dalam ayat ini, Allah SWT mengingatkan kaum mukminin supaya jangan ada suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain karena boleh jadi, mereka yang diolok-olok itu pada sisi Allah SWT jauh lebih mulia dan terhormat dari mereka yang mengolok-olokan. Demikian pula di kalangan perempuan, jangan ada segolongan perempuan yang mengolok-olok perempuan yang lain karena boleh jadi, mereka yang di olok-olok itu pada sisi Allah SWT lebih baik dan lebih terhormat daripada perempuan-perempuan yang mengolok-olok.
Allah SWT melarang kaum mukminin mencela kaum mereka sendiri karena kaum mukminin semuanya harus dipandang satu tubuh yang diikat dengan kesatuan dan persatuan. Allah SWT melarang pula memanggil dengan panggilan yang buruk  seperti panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya, Tersebut dalam sebuah hadist riwayat al-Bukhari dan Muslim dari an-Nu’man bin Basyir.
مَسَلُ المُؤْ مِنِينَ فِي تَوَادِّهِم وَتَرَاحُمِهِم وَتَعَا طُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ اِذَا اشْتَكَى مِنهُ عُضوُ تَدَا عَى لَهُ سَاىِرِ الجَسَدِ بِا الحُمَّى وَالسَّهْرِ. (رواه مسلم و أحمد عن النعما ن بن بشير)
Artinya :
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih mengasihi dan sayang menyayangi antara mereka seperti tubuh yang satu: bila salah satu anggota badannya sakit demam, maka badan yang lain merasa demam dan terganggu pula.”
انَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلَى صُوَرِكُمْ وَاَموَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ اِلَى قُلُو بِكُمْ وَأعْمَا لِكُمْ .(رواه مسلم عن ابي هريرة)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT tidak memandang kepada rupamu dan harta kekayaanmu, akan tetapi Ia memandang kepada hatimu dan perbuatanmu.” ( Riwayat Muslin dan Abu Hurairah).
Hadist ini mengandung isyarat bahwa seorang hamba Allah SWT jangan memastikan kebaikan atau keburukan seseorang semata-mata karena melihat kepada perbuatannya saja, sebab ada kemungkinan seseorang tampak mengerjakan kebajikan, padahal Allah SWT melihat di dalam hatinya ada sifat yang tercela. Sebaliknya pula mungkin ada orang yang kelihatan melakukan suatu yang tampak buruk, akan tetapi Allah SWT melihat dalam hatinya ada rasa penyesalan yang besar yang mendorongnya bertobat dari dosanya. Maka perbuatan yang tampak di luar itu, hanya merupakan tanda-tanda saja yang menimbulkan sangkaan yang kuat, tetapi belum sampai ke tingkat meyakinkan, Allah SWT melarang kaum mukminin memanggil orang dengan panggilan-panggilan yang buruk setelah mereka beriman.
Panggilan yang buruk dilarang untuk diucapkan setelah orangnya beriman karena gelar-gelar untuk itu mengingatkan kepada kedurhakaan yang sudah lewat, dan sudah tidak pantas lagi dilontarkan. Barang siapa tidak bertobat, bahkan terus pula memanggil-manggil dengan gelar-gelar yang buruk itu, maka mereka dicap oleh Allah SWT sebagai orang-orang yang zalim terhadap diri sendiri d n pasti akan menerima konsekuensinya berupa azab dari Allah SWT pada hari Kiamat.
 Sabab Nuzul
            Diriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan tingkah laku Kabilah Bani Tamim yang pernah berkunjung kepada Rasulullah saw, lalu mereka memperolok-olok beberapa sahabat yang fakir dan miskin seperti ‘Ammar, Suhaib, Bilal, Khabbab, Salman al-Farisi, dan lain-lain karena pakaian mereka sangat sederhana.
Ada pula yang mengemukakan bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kisah Safiyyah binti Huyay bin Akhtab yang pernah datang menghadap Rasulullah saw, melaporkan bahwa beberapa perempuan di Madinah pernah menegur dia dengan kata-kata  yang menyakitkan hati seperti, “Hai perempuan Yahudi, keturunan Yahudi, dan sebagainya,” sehingga Nabi saw bersabda kepadanya, “Mengapa tidak engkau jawab saja, ayahku Nabi Harun, pamanku Nabi Musa, dan suamiku adalah Muhammad.”
Ada pula yang mengaitkan penurunan ayat ini dengan situasi di Madinah. Ketika Rasulullah saw tiba di kota itu, orang-orang Anshar banyak yang mempunyai nama lebih dari satu. Jika mereka dipanggil oleh kawan mereka, yang kadang-kadang dipanggil dengan nama yang tidak disukainya, dan setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah saw, maka turunlah ayat ini.
(LARANGAN BERBURUK SANGKA DAN BERGUNJING)
Terjemah
            (12) Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.
Tafsir
يقول تعالى ناهيا عباده المؤمنين عن كثير من الظن، وهو التهمة والتخون للأهل والأقارب والناس في غير محله؛ لأن بعض ذلك يكون إثما محضا، فليجتنب كثير منه احتياطا، وروينا عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب، رضي الله عنه، أنه قال: ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المسلم إلا خيرا، وأنت تجد لها في الخير محملا (1) .
وقال أبو عبد الله بن ماجه: حدثنا أبو القاسم بن أبي ضمرة نصر بن محمد بن سليمان الحِمْصي، حدثنا أبي، حدثنا عبد الله بن أبي قيس النَّضري، حدثنا (2) عبد الله بن عمر (3) قال: رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يطوف بالكعبة ويقول: “ما أطيبك وأطيب ريحك، ما أعظمك وأعظم حرمتك. والذي نفس محمد بيده، لحرمة المؤمن أعظم عند الله حرمة منك، ماله ودمه، وأن يظن به إلا خير (4) . تفرد به ابن ماجه من هذا الوجه (5) .
وقال مالك، عن أبي الزِّناد، عن الأعرج، عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إياكم والظن فإن الظن (6) أكذب الحديث، ولا تجسسوا ولا تحسسوا، ولا تنافسوا، ولا تحاسدوا، ولا تباغضوا، ولا تدابروا، وكونوا عباد الله إخوانا”.
رواه البخاري عن عبد الله بن يوسف، ومسلم عن يحيى بن يحيى، وأبو داود عن العتبي [ثلاثتهم] (7) ، عن مالك، به (8) .
وقال سفيان بن عيينة، عن الزهري، عن أنس [رضي الله عنه] (9) قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا تقاطعوا، ولا تدابروا، ولا تباغضوا، ولا تحاسدوا، وكونوا عباد الله إخوانا، ولا يحل للمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام”.
رواه مسلم والترمذي -وصححه-من حديث سفيان بن عيينة، به (10) .
صلى الله عليه وسلم قال: “من حمى مؤمنا من منافق يعيبه (1) ، بعث الله إليه ملكا يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم. ومن رمى مؤمنا بشيء يريد شينه، حبسه الله على جسر جهنم حتى يخرج مما قال”. وكذا رواه أبو داود من حديث عبد الله -وهو ابن المبارك-به بنحوه (2) .
وقال (3) أبو داود أيضا: حدثنا إسحاق بن الصباح، حدثنا ابن أبي مريم، أخبرنا الليث: حدثني يحيى بن سليم؛ أنه سمع إسماعيل بن بشير يقول: سمعت جابر بن عبد الله، وأبا طلحة بن سهل الأنصاري يقولان: قال (4) رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ما من امرىء يخذل امرأ مسلما في موضع تنتهك فيه حرمته وينتقص فيه من عرضه، إلا خذله الله في مواطن يحب فيها نصرته. وما من امرئ ينصر امرأ مسلما في موضع ينتقص فيه من عرضه، وينتهك فيه من حرمته (5) ، إلا نصره الله في مواطن يحب فيها نصرته”. تفرد به أبو داود (6) .                                                          
            (12) Allah SWT memberikan peringatan kepada orang-orang yang beriman supaya mereka menjauhkan diri dari prasangka terhadap orang-orang yang beriman. Jika mereka mendengar sebuah ucapan yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka ucapan itu harus mendapat tanggapan yang baik, dengan ungkapan yang baik, sehingga tidak menimbulkan salah paham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka.
            (13) “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah SWT Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Sebab Nuzul
            Diriwayatkan oleh Abu Dawud mengenai turunnya ayat ini yaitu tentang peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat yang bernama Abu Hindin yang bisa berkhidmat kepada Nabi Muhammad saw untuk mengeluarkan darah kotor dari kepalanya dengan pembekam, yang bentuknya seperti tanduk.  Rasulullah saw menyuruh kabilah Bani Bayadah agar  kalangan mereka. Mereka bertanya , “Apakah patut kami menikahkan gadis-gadis kami dengan budak-budak?” Maka Allah SWT menurunkan ayat ini agar kita mencemoohkan seseorang karena memandang rendah kedudukannya.
Tafsir
يقول تعالى مخبرًا للناس أنه خلقهم من نفس واحدة، وجعل منها زوجها، وهما آدم وحواء، وجعلهم شعوبا، وهي أعم من القبائل، وبعد القبائل مراتب أخر كالفصائل والعشائر والعمائر والأفخاذ وغير ذلك.
وقيل: المراد بالشعوب بطون العَجَم، وبالقبائل بطون العرب، كما أن الأسباط بطون بني إسرائيل. وقد لخصت هذا في مقدمة مفردة جمعتها من كتاب: “الإنباهلأبي عمر (7) بن عبد البر، ومن كتاب القصد والأمم، في معرفة أنساب العرب والعجم”. فجميع الناس في الشرف بالنسبة الطينية إلى آدم وحواء سواء، وإنما يتفاضلون بالأمور الدينية، وهي طاعة الله ومتابعة رسوله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى بعد النهي عن الغيبة واحتقار بعض الناس بعضًا، منبها على تساويهم في البشرية: { يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا } أي: ليحصل التعارف بينهم، كلٌ يرجع إلى قبيلته.
وقال مجاهد في قوله: { لِتَعَارَفُوا } ، كما يقال: فلان بن فلان من كذا وكذا، أي: من قبيلة كذا وكذا.
وقال سفيان الثوري: كانت حِمْير ينتسبون إلى مُخَاليفها، وكانت عرب الحجاز ينتسبون إلى قبائلها.
وقد قال (8) أبو عيسى الترمذي: حدثنا أحمد بن محمد، حدثنا عبد الله بن المبارك، عن عبد

(13) Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya berbangsa-bangsa,  bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaannya karena yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah SWT hanyalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah SWT, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling taqwa kepada-Nya.
Sesungguhnya Allah SWT Maha Penerima tobat lagi Maha Mengetahui tentang apa yang tersembunyi dalam jiwa dan pikiran manusia. Pada akhir hayat, Allah SWT menyatakan mengetahui segala perbuatan mereka.
2.      Al-Qur’an Surah An-Nahl Ayat : 91-92
Artinya :
(91)“Dan tepatilah perjanjian Allah SWT apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah, sesudah meneguhkannya. Sedang kamu telah menjadikan Allah SWT sebagai saksi atas diri kamu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”
Tafsir
وقد ورد في نزول هذه الآية الكريمة حديث حَسن، رواه الإمام أحمد:
حدثنا أبو النضر، حدثنا عبد الحميد، حدثنا شهر، حدثني عبد الله بن عباس قال: بينما رسول الله صلى الله عليه وسلم بفناء بيته جالس، إذ مر به عثمان بن مظعون، فكشر (1) إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: “ألا تجلس؟فقال: بلى. قال: فجلس رسول الله صلى الله عليه وسلم مستقبله، فبينما هو يحدثه إذ شَخَص رسول الله صلى الله عليه وسلم ببصره في السماء، فنظر ساعة إلى [السماء] (2) فأخذ يضع بصره حتى وضعه على يَمْنته في الأرض، فتحرَّف رسول الله صلى الله عليه وسلم عن جليسه عثمان إلى حيث وضع بصره فأخذ ينغض رأسه كأنه يستفقه ما يقال له، وابن مظعون ينظر فلما قضى حاجته واستفقه ما يقال له، شخص بصر رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى السماء كما شخص أول مرة. فأتبعه بصره حتى توارى في السماء. فأقبل إلى عثمان بجلسته الأولى فقال: يا محمد، فيما كنت أجالسك؟ ما رأيتك تفعل كفعلك الغداة! قال: “وما رأيتني فعلت؟قال: رأيتك شخص بصرك إلى السماء ثم وضعته حيث وضعته على يمينك، فتحرفت إليه وتركتني، فأخذت تنغض رأسك كأنك تستفقه شيئا يقال لك. قال: “وفطنت لذلك؟فقال عثمان: نعم. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أتاني رسول الله آنفا وأنت جالس”. قال: رسولُ الله؟ قال: “نعم”. قال: فما قال لك؟ قال: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ } قال عثمان: فذلك حين استقر الإيمان في قلبي، وأحببت محمدًا صلى الله عليه وسلم (3) .
إسناد جيد متصل حسن، قد (4) بُيِّن فيه السماع المتصل. ورواه ابن أبي حاتم، من حديث عبد الحميد بن بَهرام مختصرًا.
حديث آخر: عن عثمان بن أبي العاص الثقفي في ذلك، قال الإمام أحمد:
حدثنا أسود بن عامر، حدثنا هُرَيْم، عن لَيْث، عن شَهْر بن حَوْشَب، عن عثمان بن أبي العاص قال: كنت عند رسول الله صلى الله عليه وسلم جالسا، إذ شَخَصَ بَصره فقال: “أتاني جبريل، فأمرني أن أضع هذه الآية بهذا الموضع من هذه السورة: { إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإحْسَانِ [وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ ] } (5) (6) .
وهذا إسناد لا بأس به، ولعله عند شهر بن حوشب من الوجهين، والله أعلم.
Tafsir:
Ayat ini memerintahkan: tepatilah perjanjian yang telah kamu ikrarkan dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah sesudah kamu meneguhkannya yakni perjanjian-perjanjian yang kamu akui di hadapan Perusuh Allah. Demikian juga sumpah-sumpah kamu yang menyebut nama-Nya. Betapa kamu tidak harus menepatinya sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksi dan pengawas atas diri kamu terhadap sumpah-sumpah dan janji-janji itu. Sesungguhnya allah mengetahui apa yang kamu perbuat, baik niat, ucapan maupun tindakan, dan baik jani, sumpah maupun selainnya, yang nyata maupun yang rahasia.
Yang dimaksud dengan (تنقصوا) membatalkan adalah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kandungan sumpah/janji.
Yang dimaksud dengan (بعهدالله) perjanjian Allah dalam konteks ayat ini antara lain bahkan terutama adalah bai’at yang mereka ikrarkan di hadapan Nabi Muhammad saw.
Firman-Nya: (بعد توكيدها) ada yang memahaminya dalam arti sesudah kamu meneguhkannya. Atas dasar itu, sementara yang menganut faham ini – seperti al-Biqa’i dan al-Qurthubi – memahami kata tersebut sebagai berfungsi mengecualikan apa yang diistilahkan dengan laghwu al-aiman yakni kalimat yang mengandung redaksi sumpah tetapi tidak dimaksudkan oleh pengucapnya sebagai sumpah.
Artinya:
(92)“ Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang mengurai tenunannya yang sudah dipintal dengan kuat menjadi cerai berai; kamu menjadikan sumpah kamu sebagai penyebab kerusakan di antara kamu, disebabkan adanya suatu golongan yang lebih banyak dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah SWT hanya menguji kamu dengannya. Dan pasti di hari Kiamat nanti akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.”
Tafsir
Setelah ayat yang lalu memerintahkan menepati janji dan memenuhi sumpah, ayat ini melarang secara tegas membatalkannya sambil mengilustrasikan keburukan pembatalan itu. Pengilustrasian ini merupakan salah satu bentuk penekanan. Memang penegasan tentang perlunya menepati janji merupakan sendi utama tegaknya masyarakat, karena itulah yang memelihara kepercayaan berinteraksi dengan anggota masyarakat. Bila kepercayaan itu hilang, bahkan memudar, maka akan lahir kecurigaan yang merupakan benih kehancuran masyarakat.
Kata (دخلا) dari segi bahasa berarti kerusakan, atau sesuatu yang buruk. Yang dimaksud di sini adalah alat atau penyebab kerusakan. Ini karena dengan bersumpah seseorang menanamkan keyakinan dan ketenangan di hati mitranya, tetapi begitu dia mengingkari sumpahnya, maka hubungan mereka menjadi rusak, tidak lain penyebabnya kecuali sumpah itu yang kini telah diingkari. Dengan demikian, sumpah menjadi alat atau sebab kerusakan hubungan. Kata (أربى) terambil dari kata (الربو) yaitu tinggi atau berlebih. Dari akar yang sama lahir kata riba yang berarti kelebihan. Kelebihan dimaksud bisa saja dalam arti kuantitas, sehingga bermakna lebih banyak bilangannya, atau kualitasnya yakni lebih tingg kualitas hidupnya dengan harta yang melimpah dan kedudukan yang terhormat. Ayat di atas menyebut kata (أمة) atau golongan sebanyak dua kali. Banyak pakar tafsir memahami ayat ini berbiacara tentang kelakuan beberapa suku pada masa Jahiliyah.
3.      Kandungan Pendidikan dalam Pembinaan Masyarakat.
Pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal amat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan. Berkenaan dengan ini paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, antara lain :[4]
1.      Bahwa gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
2.      Gambaran masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
3.      Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan
4.      Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan kurikulum



BAB III
PEENUTUP
1.      Kesimpulan
Dalam pembahasan diatas dapat di simpulkan, dalam Q.S. Al-Hujurat:9-10 yaitu Allah SWT memperingatkan orang mu’min untuk menghilangkan pengaruh dari perkataan orang fasik dan agar mereka memperbaiki hubungan antara dua kelompok yang bertikai, sehingga mereka mau berdamai. Perdamaian harus dan wajib dilakukan juga antara dua orang yang bersaudara karena sesungguhnya orang-orang mu’min itu bernasab kepada satu pokok yaitu iman yang menyebabkan diperolehnya kebahagian abadi di dunia dan di akhirat.
Dalam ayat 11-13 Allah menjelaskan apa yang patut dilakukan oleh seorang Mukmin terhadap Mu’min yang lainnya. Bahwa tidak sepatutnya seorang Mukmin mengolok atau mengejek orang lain dengan hinaan atau celaan, dan tidak pantas pula memberinya gelar yang menyakitkan hatinya. Selain itu Allah swt juga membimbing umat Muslim tentang beberapa hal yang dapat menambah semakin kuatnya jalinan dan hubungan masyarakat Islam yaitu :
1.      Menghindari berburuk sangka yang buruk terhadap sesama manusia menuduh mereka berkhianat.
2.      Jangan mencari-cari keburukan dan aib orang lain.
3.      Jangan menceritakan sebagian yang lain dengan sesuatu yang tidak disukai ketika orang lain tidak ada (berbuat Gibah) baik itu berkenaan dengan agama, atau dunianya, rupa, akhlak, harta, anak, istri, pembantu, pakaian atau apa saja yang berkaitan dengan dia.
Dan dalam penjelasan Q.S. An-Nahl:91-92 bahwa di antara pokok-pokok akhlak yang baik yang juga menjadi penunjang untuk terciptanya masyarakat Islam yang baik adalah : berbuat dan menegakan keadilan, berbuat kebajikan, memberi pada kaum kerabat juga menepati janji dan melarang untuk berbuat keji dan kemungkaran, permusuhan dan hendaklah tidak membatalkan sumpah atau janji sesudah mengukuhkannya.
Dengan demikian, masyarakat yang kokoh dan bertahan dalam menghadapi berbagai tantangan adalah masyarakat yang berpegang pada nilai-nilai moral dan akhlak yang mulia. Yaitu masyarakat antara yang satu dan yang lainya tidak  saling menyakiti, menzalimi, merugikan, mecurigai, mengejek dan sebagainya sehingga dapat mengarah pada masyarakat madani yaitu masyarakat yang mengaplikasikan nilai-nilai Ilahiah dan Insaniah.
Perlu adanya pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan konsep pendidikan




[1] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009 ), cet. 3, hal. 233
[2] Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997, hal. 225
[3] Asrof Abdu Syakur, Skripsi Masyarakat Islam Dalam Pandangan Sayyid Quthb, Jakarta: Stid. M.Natsir, 2004, hal.29
[4] Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2009 ), cet. 3, hal. 245-246

Related : “TAFSIR AYAT AL – QUR'AN TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT”

0 Komentar untuk "“TAFSIR AYAT AL – QUR'AN TENTANG LINGKUNGAN PENDIDIKAN MASYARAKAT”"