Makalah " Kepemimpinan Profetik Nabi Musa "

Makalah  " Kepemimpinan Profetik Nabi Musa "

Diajukan untuk memenuhi tugas semester 6 Kuliah Prophetik Leardeship

Dosen Pengampu : Zuriana Widya Rahayuning Tyas M.Pd




Di susun oleh :
1.   Miftahul Ikhsan
2.   Fadhila Psalis Salma
3.   Susi Sukristina
4.   Umi Hanifatul Jannah

FAKULTAS TARBIYAH
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM INSTITUT AGAMA ISLAM (IAI) NGAWI 2018


Daftar Isi



Kata Pengantar                               ………………………………….  3
Pendahuluan                                   ………………………………..... 4  
Isi                                                      ………………………………….  5
Kepemimpinan Profetik Nabi Musa …………………………………  5
Murid dan Guru                              …………………………………………   6
Perjalanan Khidir                            …………………………………………   7
Pelajaran dari Khidir                       …………………………………………   8
Penutup                                           ………………………………... 10
Daftar Pustaka                                ………………………………… 11






















KATA PENGANTAR


Puja dan puji syukur saya haturkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan banyak nikmat, taufik dan hidayah. Sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kepemimpinan Profetik Nabi Musa” dengan baik tanpa ada halangan yang berarti.
Makalah ini telah saya selesaikan dengan maksimal berkat kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu saya sampaikan banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara maksimal dalam penyelesaian makalah ini.
Diluar itu, penulis sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa, susunan kalimat maupun isi. Oleh sebab itu dengan segala kerendahan hati , saya selaku penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Demikian yang bisa saya sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan memberikan manfaat nyata untuk masyarakat luas.

               Ngawi , 12 Februari 2018

                   Penulis






Bab I
Pendahuluan

            Beberapa waktu yang lalu, bahkan sampai hari ini, Tri Rismaharini (Walikota Surabaya) sempat menyita perhatian semua media. Walikota yang namanya melambung karena kisruh pengangkatan wakilnya itu, telah mendapat tempat yang istimewa dalam topik kepemimpinan Indonesia. Risma (demikian walikota itu biasa disapa) telah membuka mata masyarakat Indonesia, bahwa masih ada pemimpin di negeri ini yang mendasarkan pijakannya pada bisikan nurani yang bersih.

            Pada sebuah wawancara yang ditayangkan salah satu televisi swasta nasional, Risma telah menyampaikan pernyataan yang menghentak. Bagi dia jabatannya sebagai walikota bukan sekedar jabatan an sich, melainkan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan kelak. Pernyataan seperti itu, nampaknya biasa keluar dari mulut para pejabat, namun hentakan pernyataan dari Risma ini sangat terasa, manakala dibandingkan dengan selaksa karya yang telah dia lakukan, sebagai taukid atas pernyataannya.

            Bagi penulis, kesebangunan antara pernyataan Risma dengan kebijakan yang diambilnya, telah menunjukkan bahwa spiritualitas pemimpin mampu mendorong pada perbuatan yang berdimensi celestial. Spiritualitas telah mampu membangun proximity antara pemimpin dengan rakyatnya. Spiritualitas telah menghubungkan jurang rumitnya birokrasi dengan kebutuhan masyarakat yang mendesak. 

            Berangkat dari keyakinan atas paragraf terakhir, tulisan ini akan mencoba mengurai kepemimpinan profetik. Kepemimpinan ini berdiri di atas pondasi spiritualitas kenabian yang menjadi prototife ideal dalam masyarakat. Selain memfokuskan pada genealogi konsep kepemimpinan profetik, tulisan ini pun berupaya menawarkan ikhtiar untuk membumikan kembali kepemimpinan tersebut.







Bab II
ISI

Kepemimpinan Profetik Nabi Musa
Masalah kepemimpinan (leadership) lebih besar cakupannya daripada masalah kekuasaan (rulership), sebagaimana pengaruh (influence) lebih luas jangkauannya daripada kekuasaan formal (power). Seorang pemimpin (the leader) tak harus menduduki jabatan tertentu untuk membuktikan kemampuannya dalam mengarahkan (to direct) orang-orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk mencapai tujuan bersama. Sementara, seorang penguasa (the ruler) belum tentu mampu mengendalikan (to control) para pengikut yang dikuasainya secara formal. Kepemimpinan berkaitan dengan kualitas yang lebih sublim dibanding kekuasaan.
Tak semua orang yang memiliki ambisi kekuasaan menyadari hakekat tersembunyi ini. Bahkan, seorang Nabi seperti Musa (Moses) mengalami suatu proses pembelajaran (learning process) yang panjang sebelum sampai pada puncak kesadaran akan pentingnya mencerna dan menerapkan nilai-nilai kepemimpinan(leadership values) yang luhur. Proses itu harus dilalui Musa bersama Sang Guru (The Teacher) yang bernama Khidir.
Banyak rujukan yang memuat kisah Musa dan perjuangannya untuk membebaskan Bani Israil dari cengkeraman penindasan dan perbudakan Fir’aun (Pharaoh) di Mesir. Rujukan itu bersumber dari tiga ajaran Agama Samawi (Abrahamic Religions), yakni Yahudi, Kristen dan Islam. Artikel ini menggali salah satu rujukan saja dari agama Islam, sambil membuka peluang diskusi dari sudut pandang yang berbeda. Dalam kitab Genesis diceritakan tentang sosok Melchisedec (King of Salem) yang dipercaya sebagai personifikasi Khidir.






Murid dan Guru
Prolog pertemuan Musa (Sang Murid) dengan Khidir (Sang Guru) dikisahkan dalam hadits riwayat Imam Muslim (lihat buku “Ringkasan Sahih Muslim”, M. Nashiruddin al-Albani, 2005, h. 803-807, hadits ke-1611). Di situ diceritakan bahwa suatu ketika Musa sedang berpidato di hadapan kaumnya, lalu ditanya seseorang: “Siapakah orang yang paling banyak ilmunya?” Musa langsung menjawab, “Akulah orang yang paling banyak ilmunya.” Jawaban itu memperlihatkan kesombongan Musa dan mendapat teguran keras dari Allah, karena Musa saat itu belum menyadari keterbatasan ilmu manusia sebagai pemberian dari Allah. Maka, kemudian Allah memerintahkan: “Sesungguhnya ada salah seorang hamba-Ku yang tinggal di pertemuan dua buah lautan yang lebih banyak ilmunya daripada kamu”. Seorang calon pemimpin besar (great leader) seperti Musa memang tak boleh berhenti belajar, apalagi terjebak arogansi.
Teguran itu segera menyadarkan Musa, sehingga ia memohon petunjuk Allah, bagaimana caranya menemui Sang Guru yang tinggal di pertemuan dua buah lautan (dalam bahasa Arab disebut “majma al-Bahrain”, tapi bukan negeri Bahrain yang terletak di Timur Tengah saat ini). Lokasi sebenarnya, menurut sebagian mufasir, adalah pertemuan antara Teluk Aqaba dan Teluk Suez yang merupakan dua cabang dari Laut Merah.Yakni, di tepi Semenanjung Sinai.
Kisah pertemuan Musa dengan Khidir diungkapkan secara menarik dalam kitab suci al-Qur’an (surat al-Kahfi, ayat 60-82). Pada bagian awal digambarkan, pertemuan murid dan guru itu ditandai oleh peristiwa aneh, ketika bekal ikan asin yang dibawa Musa dan pembantunya tiba-tiba “hidup” dan masuk ke dalam laut. Di lokasi tempat terjadinya mukjizat itulah, Musa bertemu dengan Khidir (secara harfiyah berarti “hijau” [green]).
Sebagian mufasir menerangkan, Khidir memiliki pengetahuan yang selalu “fresh” dan digali dari sumber kehidupan yang aktual, bukan sekadar teori yang sofistik dan tidak bisa diterapkan. Metode pembelajaran Khidir juga khas, yaitu menangkap hikmah kearifan dari pengalaman kongkrit (experential learning), tidak berdebat di dalam ruang kelas. Karena keunikannya, Khidir dan Musa menetapkan kontrak belajar, yakni Musa harus bersabar menjalani segala keanehan di depan matanya. Metoda pembelajaran Khidir ini memerlukan pengkajian dalam artikel tersendiri.



Perjalanan Khidir
Pada intinya, Khidir mengajak Musa untuk menjalani dan mengalami sendiri tiga peristiwa yang mengejutkan. Pertama, Khidir dan Musa menumpang sebuah perahu nelayan secara gratis, tapi di tengah lautan ternyata Khidir merusak penampilan perahu itu. Musa tentu saja terkejut, karena tindakan itu dipandangnya sebagai keisengan (strange thing) yang membahayakan perahu karena bisa bocor dan tenggelam. Musa mungkin juga merasa malu, sebagai manusia normal, karena telah diberi tumpangan gratis oleh nelayan itu, eh kok gurunya malah berbuat aneh.
Peristiwa kedua, Khidir dan Musa menjumpai seorang bocah di pinggir sebuah kampung. Tanpa ba-bi-bu, Khidir mendekati bocah itu, dan – masya Allah – tiba-tiba “membunuhnya”. Musa tidak hanya terkejut, tapi tersulut emosinya, karena Sang Guru “membunuh” seorang anak yang tidak berdosa. Itu suatu pelanggaran hukum yang berat di mata orang awam. Dalam hal ini, para mufasir sangat berhati-hati untuk menjelaskan konteks hukum (syariat) yang berlaku di masa Khidir, yang terkesan bersifat fisikal dan spontan. Tapi, Khidir punya alasan (reasoning) atas perbuatan yang dinilai “melanggar hukum” (munkar) itu, dan Musa harus bersabar untuk mengetahui hikmah di balik perbuatan yang mengingatkan akan tingkah lakunya sendiri selama ini.
Musa sesungguhnya adalah keturunan Bani Israil yang dipeliharan keluarga istana Fir’aun sejak bayi. Setelah dewasa, ia tumbuh sebagai pemuda perkasa dan cerdas. Perpisahan Musa dengan keluarga istana disebabkan, karena suatu hari dia menjumpai seorang budak dari kalangan Bani Israil sedang disiksa oleh punggawa Fir’aun. Maka, Musa membela budak itu dan memukul sang punggawa sampai tewas. Hanya sekali pukulan keras seperti Mike Tyson, langsung tewas. Jadi, Musa sendiri pernah melakukan perbuatan melanggar hukum (membunuh) demi membela kaumnya. Musa memandang Khidir telah melakukan perbuatan serupa tanpa alasan yang jelas. Pandangan yang nanti akan terbantahkan.
Peristiwa ketiga ialah pengalaman pahit di suatu kampung, Musa dan Khidir tidak diterima dengan ramah, tidak diberi minum, apalagi ditawarkan tempat bermalam. Bahkan, penduduk kampung itu mengusir mereka dengan kasar. Tatkala berjalan meninggalkan kampung itu, di perbatasan keduanya menjumpai tembok yang mau runtuh. Tiba-tiba, tanpa ada yang menyuruh Khidir membetulkan dinding itu hingga berdiri tegak kembali. Sekali ini, Musa tidak hanya protes, tapi menggerundal dengan penuh kesal, melihat tingkah gurunya. “Jika Anda mau, mestinya bisa dapat kompensasi untuk pekerjaan ini?”, celetuk Musa. Khidir tenang saja, dan menyatakan itulah akhir perjalanan mereka berdua, dan sesuai dengan kontrak belajar, maka dia akan menyampaikan rahasia di balik semua peristiwa.
Pelajaran dari Khidir
Di sinilah, sikap seorang Guru dan kualitas keilmuannya diuji. Meski mendapat pertanyaan dan protes dari muridnya, Sang Guru tetap konsisten dengan metoda pembelajaran yang diyakini benar dan bertujuan baik. Mendidik seorang calon pemimpin (educating the Leader), seperti Musa, tentu lebih sulit daripada membina orang biasa. Sebaliknya, pelajaran yang diberikan kepada seorang calon pemimpin (lesson for the Leader) tentu pula harus berbeda muatannya dibanding warga biasa. Maka, Khidir mengungkapkan tiga pelajaran penting bagi seorang calon pemimpin.
Pertama, kata Khidir sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an, perahu yang mereka tumpangi adalah milik nelayan miskin. Di lautan ada raja perompak yang akan merampas setiap perahu yang dilihat menarik dan mungkin mengangkut muatan berharga. Karena itu, Khidir sengaja “merusak sedikit penampilan perahu” itu agar tidak menarik perhatian banyak orang, sehingga sang nelayan selamat dari serangan para perompak. Sangat mungkin Khidir membayar biaya kerusakan yang ditimbulkannya, karena tidak ingin menyulitkan sang nelayan. Khidir mengajarkan pentingnya menjaga “penampilan perahu” (organizational performance).
Musa adalah pemimpin Bani Israel yang sedang mengalami penindasan berat dari rezim tiranik di masa itu. Kondisi kolektif Bani Israel sangat rapuh, karena setiap saat nyawa mereka terancam oleh tindakan kejam penguasa. Untuk itu, Musa harus menyusun barisan perjuangan dari awal secara rapi dan solid. Organisasi perjuangan yang akan mampu menggulingkan kekuasaan tiran dan membawa kebebasan bagi masyarakat lemah. Tidak mudah membangun organisasi yang solid dan efektif untuk mencapai tujuan besar di tengah tantangan yang berat. Penampilan Musa yang selama ini emosional dan cenderung arogan justru akan membahayakan eksistensi organisasi itu. “Perahu perjuangan” Bani Israel harus dijaga dengan baik agar dapat mengarungi lautan dengan selamat sampai di tempat tujuan, dan terhindar dari sergapan Fir’aun.
Pelajaran kedua dari Khidir, bocah yang “dibunuh” itu adalah anak nakal yang sering berbuat jahat dan ingkar (thugyanan wa kufran) kepada Allah, karena itu amat membahayakan posisi orangtuanya yang shalih. Sekali lagi, dalam konteks ini, kita harus berhati-hati mencermati hukum yang berlaku di masa Khidir, yang tampaknya bersifat fisikal (misalnya, “membunuh”) dan serta-merta untuk mengakhiri sebuah kejahatan (to end the crime act directly). Tapi, pelajaran penting yang ingin diberikan Khidir kepada Musa ialah bibit kejahatan harus dihilangkan sejak dini, jangan dibiarkan hingga membesar dan melembaga. Musa dan Bani Israel sedang mengalami kekuasaan tiran yang telah melembaga dan menyejarah, yakni Fir’aun yang dijuluki juga sebagai “thaghut” (great tyran).
Sementara Khidir menunjukkan, tiran yang masih bocah sekalipun (thugyanan) harus dihabisi, termasuk sesungguhnya yang terdapat dalam diri kita sendiri. Bukankah sering kita menyaksikan suatu kelompok oposisi mengecam perbuatan penguasa yang dinilainya zalim, padahal diam-diam mereka juga melestarikan ketidakadilan di dalam dirinya sendiri? Nah, ketika kelompok oposisi itu menang, segera terbukti kelakuannya tidak berbeda dengan penguasa yang digantikannya. Inilah peringatan keras yang ditujukan Khidir kepada Musa, bagaimana ia bisa mengalahkan Fir’aun yang berbuat sombong di hadapan Allah Yang Mahakuasa, sementara Musa sendiri bertingkah sombong (merasa paling pintar sendiri) di hadapan kaumnya yang lemah? Mari kita “bunuh tiran” (self-correction) di dalam diri kita sendiri sebelum kita “membunuh tiran” (criticism/opposition) di lingkungan lebih luas.
Pelajaran ketiga, yang terakhir dari Khidir, adalah membangun dinding yang mau runtuh tanpa pamrih. Musa tidak mengetahui bahwa di bawah dinding runtuh itu ada harta warisan yang sangat berharga, milik anak yatim. Khidir bermaksud mengamankan harta peninggalan itu, hingga anak yatim tadi (berbeda dengan bocah nakal yang telah “dibunuhnya”) tumbuh dewasa dan siap menerima warisan orangtuanya yang shalih. Demi kebahagiaan anak yatim itu di masa depan, Khidir bersedia kerja bakti, membangun dinding runtuh tanpa upah sepeser pun. Padahal, mereka baru saja dilecehkan oleh penduduk kampung setempat, tapi Khidir tidak terpengaruh. Dia punya misi suci untuk menjamin masa depan generasi yang lebih baik.
Pekerjaan membangun kapasitas organisasi (capacity building) dan mempersiapkan generasi yang lebih baik (succession) sering dipandang sebelah mata, karena dinilai tak ada untungya secara kongkrit. Tapi, seorang pemimpin yang visioner seperti dicontohkan Khidir tak peduli dengan cemoohan orang, dia tetap konsisten mengembangkan sistem pengkaderan dan penguatan organisasi, walaupun harus mengeluarkan ongkos besar.
Salah satu faktor kelemahan Bani Israel yang belum disadari Musa saat itu ialah pemahaman mereka tentang sejarah perjuangan kolektif amat lemah, karena sumber sejarah yang tersimpan dalam tabut (semacam kotak penyimpan barang berharga) telah lama hilang. Tabut itu peninggalan keluarga Yakub yang menjadi nenek-moyang Bani Israel. Musa harus menemukan kembali tabut sejarah agar semangat perjuangan Bani Israel dapat dibangkitkan secara kolosal.


Bab III
Penutup

Kita semua harus menjalankan peran sebagai “generasi pembangun” dan bukan bukan “generasi perusak” organisasi yang telah didirikan dengan susah-payah oleh generasi terdahulu. Inilah pelajaran berharga dari Khidir: 1) jaga penampilan “perahu” (organisasi) agar selamat sampai di pelabuhan tujuan, 2) luruskan motivasi para “bocah nakal” (kader), dan 3) bangun dinding yang mau runtuh untuk selamatkan “warisan terpendam” (misi sejarah yang sering terlupakan). Inilah pelajaran untuk seorang pemimpin yang akan membebaskan rakyatnya
















Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Kariem.

Azizy, Qodri, Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,     2003.

Djazuli, Acep, Hifdz al-Ummah: Tujuan Hukum Islam, Bandung: UIN Sunan Gunung Djati,       2009.

Engineer, Asghar Ali, On Developing Theology of Peace in Islam, Yogyakarta: Alenia, 2004.

Hendrawan, Sanera, Spiritual Management: From Personal Enlightment Towards God Corporate             Governance, Bandung: Mizan, 2009.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta: Tiara         Wacana, 2006.

Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan, 2009.

Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme Kepada Mahaguru Pencerahan, Bandung: Mizan, 2011.

Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Kebebasan, Jakarta:       P3M dan Ford Foundation, 2004.


Related : Makalah " Kepemimpinan Profetik Nabi Musa "

0 Komentar untuk "Makalah " Kepemimpinan Profetik Nabi Musa ""