SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH ANTARA PARA PIHAK MENURUT HUKUM ADAT

PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH ANTARA PARA PIHAK MENURUT HUKUM ADAT

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat dalam Mencapai
Gelar kesarjanaan  dalam Ilmu  Hukum







Disusun Oleh :
NANANG NUGROHO
NPM : 147654391






KEMENTERIAN RISTEK DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS MERDEKA MADIUN
FAKULTAS HUKUM

2017

KATA PENGANTAR


Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan lancar.
Penulis skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun dengan harapan dapat dijadikan sumbangan pikiran yang berguna dalam peningkatan dan pengembangan pengetahuan pembaca.
Dalam penyusunan penelitian ini penulis memperoleh bimbingan dan dorongan dari beberapa pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
  1. Dr. Ir. Rahmanta Setiahadi, MP, selaku Rektor Universitas Merdeka Madiun.
  2. Subadi,SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun,
  3. Endro Martono,SH, M.Hum., Selaku Dosen Pembimbing I yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan dan arahan sehingga terselesaikan Skripsi ini.
  4. Hery Sumanto, SH, M.Hum, Selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan penulisan dan memberikan arahan kepada penulis untuk segera menyelesaikan Skripsi ini.
  5. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun yang telah mendidik, membimbing selama penulis menyelesaikan kuliah.
  6. Bapak dan Ibu  penulis yang dengan caranya tersendiri memberikan dorongan semagat kepada putra tercintanya untuk dapat segera menyelesaikan studi dengan lancar dan sukses.
7.      Sahabat-sahabat yang selalu ada “Clan Ngawi” yaitu : Arief Rachman, Brian Drajat, Muhammad Hendra, Rofiq Mustofa dan Zainal Arifin.
8.      Teman-teman seperjuangan baik kelas A1 maupun A2. Khususnya terimakasih kepada keluarga besar kelas A2 yang telah berjuang bersama dan saling membantu satu sama lain sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
  1. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, tidak lupa teman-temat satu angkatan.
Akhir kata semoga ini dapat memberi manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

                                                                        Madiun,   Februari 2017
                                                                        Penulis






DAFTAR ISI

Halaman Judul..................................................................................................... i  
Halaman Persetujuan........................................................................................... ii
Halaman Pengesahan.......................................................................................... iii
Surat Pernyataan Keaslian.................................................................................. iv
Moto…................................................................................................................ vi
Persembahan....................................................................................................... vii
Kata Pengantar................................................................................................... viii
Daftar Isi.............................................................................................................. x
Abstrak…............................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang dan Rumusan Masalah................................................... 1
B.     Alasan Pemilihan Judul........................................................................... 5
C.     Penjelasan Judul...................................................................................... 6
D.    Tujuan Penelitian..................................................................................... 9
E.     Metode Penelitian................................................................................... 10
F.      Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan.......................................... 12

BAB II LANDASAN TEORI
A.    Pengertian Gadai Tanah......................................................................... 14
B.     Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA................................................. 21
C.     Dasar Hukum Gadai Tanah.................................................................... 26
D.    Subyek dan Obyek Hak gadai Tanah.....................................................  27
E.     Sifat dan Ciri-ciri Hak Gadai Tanah....................................................... 28
F.      Jangka waktu Gadai Tanah Pertanian.................................................... 30
G.    Hapusnya Gadai Tanah........................................................................... 30

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Mengapa Anggota Masyarakat Melakukan Gadai Tanah...................... 32
B.     Sejauhmana Gadai Tanah Terjadi Sengketa dan Penyelesaiannya........ 41

BAB IV PENUTUP
A.    Kesimpulan............................................................................................. 59
B.     Saran....................................................................................................... 60

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 61
LAMPIRAN

PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH ANTARA PARA PIHAK MENURUT HUKUM ADAT DI KABUPATEN NGAWI


Abstrak

Penulisan ini bertujuan mendeskripsikan rumusan masalah yang dibahas yaitu untuk mengetahui mengapa masyarakat (orang) melakukan gadai tanah serta untuk mengetahui sejauh mana gadai tanah apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitan empiris yaitu sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat yaitu untuk mengetahui pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat. Di samping itu dilakukan studi kepustakaan atau pengumpulan data-data secara lengkap dalam literatur, dokumen-dokumen serta peraturan-peraturan yang sesuai dengan bahan untuk pembahasan lebih lanjut.
Adapun mengapa masyarakat melakukan gadai tanah karena sebagian masyarakat membutuhkan uang dengan cara yang mudah dan tidak terbelit-belit dikarenakan alasan faktor kebutuhan ekonomi, kebutuhan modal untuk usaha, keperluan biaya rumah sakit, kebutuhan biaya pendidikan,  biaya untuk perkawinan dank arena kebutuhan lainnya. Dengan melakukan gadai tanah berdasarkan hukum adat didasari kepercayaan masing-masing pihak dan semangat saling tolong menolong antar kerabat, tetangga maupun masyarakat.
Sengketa gadai tanah timbul dikarenakan tidak adanya batasan waktu yang jelas kapan si pemberi gadai untuk dapat menebus uang gadai tanahnya, Selain itu permasalahan yang menimbulkan sengketa gadai yaitu bentuk perjanjian yang hanya dilakukan secara lisan tanpa perjanjian tertulis, bahkan tidak adanya saksi dalam kesepakatan gadai tersebut. Sedangkan upaya penyelesaian sengketa gadai tanah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non ligitasi yaitu melalui musyawarah mufakat melalui negosiasi antara para pihak atau melibatkan mediator yaitu Kepala Desa atau tokoh masyarakat yang dianggap mampu menyelesaikan. Cara kedua yaitu cara ligitasi melalui gugatan di Pengadilan Negeri, yang merupakan cara jalan terakhir untuk mendapatkan keadilan.

Kata Kunci : Hukum Adat, Gadai Tanah.
COMPLETION OF DISPUTE PLEDGE OF LAND IN THE PARTIES ACCORDING TO CUSTOMARY LAW IN THE NGAWI DISTRICT



Abstract

This writing aims to describe the formulation of the problem discussed is to find out why people (people) make land pledge and to know the extent of land pledge in case of dispute can be resolved. The method used in the writing of this thesis employs empirical research method that is a method of legal research that seeks to see the law in a real sense or can be said to see, examines how the law works in society that is to know the implementation of land pledge according to customary law. In addition, library studies or the collection of complete data in the literature, documents and regulations are appropriate to the material for further discussion.
As for why people make land pledge because some people need money in a way that is easy and not complicated due to reasons of economic needs, capital needs for business, hospital expenses, education costs, marriage and other needs. By pledging the land based on customary law based on the belief of each party and the spirit of mutual help help between relatives, neighbors and society.
Land pledge disputes arise due to the absence of clear time constraints when the lender is able to redeem his land pawn money, besides the problems that cause the pawn disputes that is the form of agreement that is only done orally without written agreement, even the absence of witnesses in the deal. While the settlement of land pledge disputes can be done in two ways, namely non ligitasi through consensus mufakat through negotiations between the parties or involving the mediator of the Village Head or community leaders who are considered capable of completing. The second way is how to litigate through a lawsuit in the District Court, which is the last way to get justice.

Keywords : Customary Law, Pawn Land.





BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan dan Rumusan Masalah

Berdasarkan Konsideran Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan-Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria (untuk selanjutnya disingkat UUPA) dapat diketahui, bahwa Negara Republik Indonesia susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya bercorak  agraris. Dengan  demikan  dapat  dipahami  pula bahwa hal hal yang berkaitan dengan pertanian masih cukup dominan.[1]
Persoalan tanah dalam kehidupan masyarakat di Indonesia mempunyai arti yang sangat penting karena sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Tanah dapat dipergunakan  sebagai tempat pemukiman dan sebagian besar masyarakat yang mencari nafkah melalui usaha pertanian ataupun usaha perkebunan tanah merupakan bagian dari faktor produksi yang utama. Khususnya untuk tanah pertanian, dapat di tanami berbagai macam tanaman pangan misalnya : padi, jagung, kacang, kedelai dan sebagainya. Dalam hal ini hasil pertanian mempunyai peran yang sangat penting baik bagi para petani maupun masyarakat luas, sebab dari hasil pertanian tersebut merupakan pemasok kebutuhan yang utama masyarakat di Indonesia.[2]
Berdasarkan perkembangan yang terjadi  jumlah tanah pertanian yang dimiliki petani pada saat ini sangatlah terbatas sekali, seiring dengan pesatnya laju pembangunan yang banyak membutuhkan lahan atau tanah untuk pengembangan pembangunan. Belum lagi berbagai kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan, industri dan kegiatan lain yang menimbulkan terjadinya degradasi lahan pertanian.[3]
Tanah merupakan sesuatu yang berharga yang bisa dinilai dengan uang,  Di mana dalam perkembangannya tanah memiliki nilai ekonomi yang semakin lama semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan hidup masyarakat yang semakin hari semakin meningkat memerlukan pembiayaan yang juga semakin meningkat. Untuk itu tanah yang digadaikan juga  akan mempunyai nilai yang tinggi. Gadai tanah menurut hukum adat banyak terjadi di masyarakat pedesaaan sebagaimana diatur dalam UUPA dan juga dalam Undang-Undang Nomor 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.[4]
Gadai tanah juga terjadi karena petani dalam menggarap lahan pertaniannya terkadang mengalami kesulitan finansial, seperti contoh hasil pertanian yang kurang maksimal karena biaya produksi yang tinggi belum lagi kebutuhan untuk menyekolahkan putra putinya serta keperluan lain yang terkadang memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Salah satu contoh kesehariannya di dalam kehidupan masyarakat kita untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga merupakan hal yang sangat penting dan merupakan hal yang wajib diberikan sebagai bentuk tanggungjawab kepala keluarga. Tetapi hal ini tidak semudah yang dibayangkan untuk mencari kebutuhan ekonomi kadang menemui beragam kendala yang akhirnya melakukan menggadaikan tanah yang mereka miliki kepada orang lain dengan pembayaran sejumlah uang sebagai gantinya, Hal ini merupakan salah satu  cara yang paling praktis secara ekonomis dan dilakukan secara kekeluargaan tanpa adanya aturan-aturan formal yang mempersulit mereka.[5]
Praktek di masyarakat, gadai tanah seringkali di lakukan menurut Hukum Adat, di mana pelaksanaan gadai tersebut di lakukan secara lisan saja atau hanya di saksikan oleh Kepala Desa atau Lurah saja dan tidak menurut ketentuan yang berlaku, peralihan hak atas tanah yang demikian tetap dianggap sah bagi para pihak yang mengadakan perjanjian peralihan hak atas tanah tersebut, meskipun tidak mempunyai kepastian hukum.
 Di samping itu menurut pengamatan penulis di Kabupaten Ngawi, banyak terjadi penggadaian tanah pertanian yaitu antara orang yang membutuhkan uang dengan menggadaikan lahan pertaniannya kepada orang lain karena desakan kebutuhan ekonomi. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gadai tanah yang terjadi dalam masyarakat, diantaranya adalah, faktor kebutuhan ekonomi, faktor modal untuk usaha,  faktor pengetahuan yang kurang dan sebagainya.
Pelaksanaan gadai yang terjadi di pedesaan cenderung yang dilakukan hanya dihadapan Kepala Desa berdasarkan hukum adat dan hanya didasarkan unsur kepercayaan saja (biasanya hanya dalam bentuk lisan saja),  tidak  memperhitungkan resiko akibat hukum yang terjadi apabila terjadi sengketa dikemudian hari akan dapat menimbulkan permasalahan hukum. Belum lagi persoalan hukum yang rentan menimbulkan konflik dalam perjanjian gadai yaitu mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya tanah gadai berada dalam kekuasaan penerima gadai hingga sampai saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.
Berdasarkan dari uraian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan yaitu sebagai berikut :
a.      Mengapa anggota masyarakat (orang ) melakukan gadai tanah ?
b.     Sejauh mana gadai tanah terjadi sengketa dapat diselesaikan?

Hipotesis

Dalam pelaksanaan gadai tanah di Kabupaten Ngawi, para petani melakukan gadai tanah karena adanya kesulitan finansial dalam berbagai faktor. Pelaksanaan gadai tanah dilakukan berdasarkan didasari rasa saling percaya (kepercayaan) para pihak dan Pelaksanaan gadai tanah seringkali terjadi dalam mayarakat dilakukan hanya dengan cara lisan atau hanya dihadapan Kepala Desa.
Apabila sengketa gadai tersebut tidak bisa diselesaikan secara musyawarah, maka upaya selanjutnya adalah melalui upaya hukum Pengadilan Negeri sebagai Pengadilan tingkat pertama.

C. Alasan Pemilihan Judul

            Penelitian dengan judul tentang “Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Antara Para Pihak Menurut Hukum Adat di Kabupaten Ngawi”  didasarkan pada alasan antara lain :
1.       Tanah bagi masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab tanah menjadi salah satu  alat atau faktor produksi  bagi  petani, Tanah juga merupakan bagian dari kedudukan status sosial seseorang dalam masyarakat, Oleh sebab itu sering terjadi dalam masyarakat sengketa tanah harus diakhir dengan taruhan nyawa atau dengan terjadinya suatu tindak pidana.
2.   Salah satu upaya masyarakat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi adalah dengan melakukan gadai tanah, namun masyarakat kebanyakan dalam menggadaikan tanah pertanian hanya di lakukan dengan lisan saja dan hanya dihadapan Kepala, tidak di depan pejabat yang berwenang. Keadaan yang demikianlah kurang menjamin kepastian hukum, terutama bila dalam pelaksanaan gadai tersebut timbul perselisihan antar para pihak dikemudian hari.
3.  Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal mengatur masalah gadai tanah pertanian adalah pengaturan berdasarkan UUPA yang mengacu pada Hukum Adat, dan dalam  Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Namun demikian pada dasarnya pengaturan tersebut belum bisa dilaksanakan dengan baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain misalnya kurang pengetahuan masyarakat tentang gadai.
4.  Gadai tanah yang sering kali terjadi di masyarakat pedesaaan hanya dilakukan di hadapan Kepala Desa sehingga apabila terjadi sengketa masyarakat cenderung percaya kepada Kepala Desa dapat menyelesaikan berdasarkan hukum adat tanpa berfikir akibat hukum apabila benar-benar terjadi sengketa.

D.  Penjelasan Judul

Judul penelitian  ini adalah “Penyelesaian Sengketa Gadai Tanah Antara Para Pihak Menurut Hukum Adat di Kabupaten Ngawi.” Agar memudahkan dalam memahami ruang lingkup dalam penelitian ini maka diberikan batasan-batasan penjelasan judul sebagai berikut :
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian tinjauan adalah mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), pandangan, pendapat (sesudah menyelidiki, mempelajari, dan sebagainya). Menurut Kamus Hukum, kata yuridis berasal dari kata Yuridisch yang berarti menurut hukum atau dari segi hukum.  Dapat disimpulkan tinjauan yuridis berarti mempelajari dengan cermat, memeriksa (untuk memahami), suatu pandangan atau pendapat dari segi hukum.[6] Sedangkan pengertian hukum menurut beberapa ahli hukum antara lain :
Menurut Mochtar Kusumaadmaja yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kaedah dan asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, termasuk lembaga dan proses dalam mewujudkan berlakunya hukum.”[7]
Satjipto Rahardjo memberikan definisi “bahwa hukum adalah karya manusia berupa norma-norma yang berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Hukum merupakan pencerminan kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat di bina dan diarahkan.”[8]
Pengertian   sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.[9]
Pengertian sengketa merupakan pengertian yang sangat luas dan mencakup segala aspek kehidupan bermasyarakat. Dalam konteks hukum, sengketa merupakan perbedaan pendapat antar para pihak yang perbedaan tersebut memiliki akibat hukum. Berdasarkan pengertian tersebut, setidaknya diperlukan dua belah pihak untuk menjadi syarat terjadinya sengketa. Kedua belah pihak tersebut harus memiliki pendapat masing-masing dalam memahami suatu hal yang saling dipertahankan dan belum memiliki titik temu kesamaan pendapat. Tidak ada kualifikasi mengenai subjek hukum yang berwenang untuk bersengketa. Oleh karena itu, semua subjek hukum memiliki potensi untuk bersengketa.[10]
Gadai Tanah dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian  adalah hubungan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjam uang tadi (“pemegang-gadai”).  Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut.
Adapun pengertian Hukum Adat adalah norma- norma yang bersumber pada perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan- peraturan tingkah laku manusia adalah dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan di hormati oleh rakyat, karena mempunyai hukum (sanksi )[11]
Sedangkan Kabupaten Ngawi adalah lokasi penelitian sekaligus tempat tinggal penulis, dengan pertimbangan bahwa masyarakat di wilayah ini sebagaian besar adalah masyarakat dengan mata pencaharian sebagai petani.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain :
  1. Untuk mengetahui mengapa masyarakat (orang) melakukan gadai tanah.
  2. Untuk mengetahui sejauh mana gadai tanah apabila terjadi sengketa dapat diselesaikan.
Adapun manfaat penelitian ini antara lain :
1.    Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum khususnya Hukum Agraria yang berkaitan dengan pelaksanaan gadai tanah berdasarkan Hukum Adat.
2.    Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan bagi praktisi dan penentu kebijakan dalam pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat sehingga dapat memberikan manfaat kepada masyarakat.

E. Metode Penelitian                                                                                 

Untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan, maka penelitian ini diperlukan suatu metode tertentu sehingga hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah atau secara akademik.
1.       Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah  dalam penelitian ini menggunakan  penelitian hukum empiris[12]  yaitu sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat yaitu untuk mengetahui pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat. Di samping itu dilakukan studi kepustakaan atau pengumpulan data-data secara lengkap dalam literatur, dokumen-dokumen serta peraturan-peraturan yang sesuai dengan bahan untuk pembahasan lebih lanjut.[13]
a.    Data primer yaitu data yang diperoleh melalui studi lapangan atau observasi langsung yaitu dengan melakukan pengkajian data dari masalah yang dibahas langsung pada masyarakat khususnya dalam penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Ngawi, yang dimaksud dengan data primer adalah data yang  bersumber dari pihak-pihak yang terlibat dalam masalah yang menjadi obyek penelitian atau dengan kata lain data yang diperoleh langsung dari lapangan.[14]
b.    Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dengan bersumber dari buku-buku, tulisan-tulisan hukum dan teksbook.[15]

2.       Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data guna berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dapat diperoleh melalui beberapa cara, antara lain :
a.         Observasi [16] atau pengamatan langsung terhadap permasalahan yang dibahas yaitu pelaksanaan gadai tanah menurut hukum adat di Kabupaten Ngawi.
b.      Wawancara[17] atau interview yaitu metode yang dilakukan untuk memperoleh data selain melalui teknik observasi atau pengamatan langsung dengan menggunakan metode wawancara secara mendalam mengenai permasalahan yang akan dibahas dengan informan kunci antara lain Kepala Desa atau Lurah, Perangkat Desa/kelurahan dan masyarakat serta pihak-pihak yang diperlukan dalam pembahasan masalah tersebut sehingga dapat diperoleh data yang lebih akurat dan mendalam.
c.    Studi dokumentasi[18] yang mengambil data tentang peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat.

3. Analisis Data
Setelah data tersebut berhasil dikumpulkan dengan lengkap dan di pisah-pisahkan/diklasifikasikan sesuai dengan relevansi permasalahan kemudian dilakukan analisa data secara kualitatif[19]. Selanjutnya data tersebut dipelajari dan dibahas sebagai suatu bahan yang utuh dan dituangkan di dalam suatu bahasan dengan menggunakan metode yang ada.

F.   Pertanggungjawaban Sistematika Penulisan

Pertanggungjawaban sistematika penulisan dalam penelitian ini akan dirancang dalam 4 (empat) bab atau bagian,  adapun secara terperinci uraian dari empat bab tersebut antara lain sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Bagian pertama tentang pendahuluan memuat antara lain : Latar belakang masalah dan rumusan masalah, Alasan pemilihan judul, Penjelasan judul, Tujuan penelitian, Metode penelitian dan  pertanggungjawaban sistematika penulisan.
BAB II : LANDASAN TEORI
Bagian ke dua tentang landasan teori memuat antara lain : Pengertian gadai tanah, Pengertian Hukum Adat, Dasar hukum gadai tanah, Sifat dan ciri-ciri gadai tanah, Hukum adat menjadi dasar UUPA, Peran hukum adat dalam pengembangan hukum Agraria.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bagian ke tiga tentang hasil penelitian dan pembahasan memuat antara lain pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat di Kabupaten Ngawi dan penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan para pihak dalam pelaksanaan gadai tanah menurut Hukum Adat.
BAB IV : PENUTUP
Bagian terakhir yaitu penutup memuat antara lain hasil kesimpulan dan saran rekomendasi.

BAB II
LANDASAN TEORI

A.  Pengertian Gadai Tanah
Hukum adat sebagai hukum yang berlaku secara turun temurun dalam suatu masyarakat Indonesia yang mempunyai konsep dan dasar pemikiran mengenai kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sehingga masyarakat tersebut mempunyai suatu pranata dan hukum jaminannya tersendiri.
Adapun lembaga jaminan yaitu jaminan gadai merupakan salah satu dari sekian banyaknya perikatan menurut hukum adat yang mempunyai sifat mendasar, bahwasanya perjanjian bentuk apapun dalam hukum adat akan selalu bertitik tolak pada dasar kejiwaan, kekeluargaan serta tolong menolong yang selaras denga perilaku dan kepribadian masyarakat Indonesia yang senantiasa mengutamakan kerjasama, gotong royong dan kepedulian terhadap sesama.[20]
Hal inilah yang membedakan gadai dalam hukum adat dengan gadai dalam bentuk lainnya, karena selain lembaga gadai dalam hukum adat, masyarakat di Indonesia juga mengenal bentuk gadai lainnya, seperti gadai menurut hukum perdata yang dikenal dengan sebutan pand, gadai berdasarkan Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, dan gadai yang terjadi di Pegadaian. Masing-masing jenis gadai ini memiliki perbedaan misalnya dari segi objek gadainya.
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, menyebutkan bahwa objek gadai adalah tanah pertanian, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) menyebutkan bahwa objek gadai adalah hanya barang bergerak saja, sedangkan objek gadai dalam lembaga gadai menurut hukum adat tidak terbatas hanya barang bergerak saja, tetapi juga segala macam barang yang dapat digadaikan.[21]
Gadai yang terjadi di Pegadaian juga memiliki perbedaan tersendiri dengan gadai dalam hukum adat, karena gadai yang terjadi di Pegadaian, objek gadainya hanya diperuntukkan pada barang bergerak saja, yakni barang yang berwujud, dapat berpindah atau dipindahkan dari syaty tempat ke tempat yang lain. Sedangkan dalam lembaga gadai menurut hukum adat, objek gadainya tidak hanya barang bergerak saja , tetapi juga dapat berupa tanah, rumah, tanah beserta rumah yang ada diatasnya dan barang-barang tidak bergerak lainnya. Selain itu gadai yang terjadi di Pegadaian mempunyai suatu peraturan tertulis, baku dan seragam, disertai syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian yang telah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak Pegadaian.
Dengan melihat pada hal tersebut maka lazimlah, apabila masyarakat Indonesia lebih memilih mempergunakan lembaga gadai adat dibandingkan lembaga gadai dalam bentuk lainnya tersebut guna memenuhi kebutuhan hidup mereka, karena gadai adat yang nampaknya lebih sederhana, praktis, ekonomis serta tidak terikat oleh persyaratan-persyaratan tertentu.
Banyak para ahli hukum yang memberikan pendapat mengenai pengertian gadai menurut hukum adat seperti yang diungkapkan Ter Haar, gadai adalah suatu perjanjian dimana pemilik tanah menyerahkan tanahnya, guna menerima sejumlah uang tunai dengan janji. Bahwa yang menyerahkantanah berhak menerima kembali tanahnya setelah membayar uang tebusan sebesar nilai uang yang telah diterimanya.[22]
Menurut Soerjono Soekanto, gadai atau yang disebut dengan jual gadai adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanahkepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut.[23]
Menurut Hilman Hadikusuma, jual gadai ini mengandung arti penyerahan tanah untuk dikuasai oleh orang lain dengan menerima pembayaran tunai, dimana si penjual (pemberi gadai, pemilik tanah) tetap berhak menebus kembali tanah tersebut dari pembeli gadai (penerima gadai, pemegang gadai, penguasa tanah gadai).[24]
Menurut S. A. Hakim, jual gadai adalah penyerahan tanah dengan pembayaran sejumlah uang secara kontan, sedemikian rupa sehingga yang menyerahkan tanah itu masih mempunyai hak untuk mengambil kembali tanahitu dengan pembayaran sejumlah uang tersebut.[25]
Pengertian gadai dijelaskan pula dalam penjelasan umum Undang-Undang  Nomor 56 Prp Tahun 1960 adalah hubungan seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain, yang mempunyai utang kepadanya. Selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah itu tetap berada dalam penguasaan yang meminjam uang tadi (“pemegang-gadai”). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari utang tersebut.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, perjanjian gadai merupakan transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak, dengan mana pihak yang satu menyerahkan kebendaan untuk dikuasai pihak lain dengan menerima pembayaran tunai, akan tetapi si pemilik kebendaan tetap mempunyai hak untuk menebusnya kembali di kemudian hari. Adapun yang dimaksud dengan kebendaan disini dapat berupa tanah saja, rumah saja, tanah beserta rumah yang ada diatasnya, tanah beserta tanaman diatasnya, sebagian dari rumah, sebagian dari rumah dan tanah dan mungkin masih banyak lagi kebendaan lainnya yang dapat dijadikan sebagai objek gadai.
Perjanjian gadai terjadi karena adanya kesepakatan dari kedua belah pihak, yakni pihak pemberi gadai (pemilik benda) dengan pihak penerima gadai (pemegang gadai), di mana dalam hal ini terdapat perjanjian bahwa yang diserahkan bukanlah hak kepemilikan atas benda akan tetapi masih adanya kesempatan bagi pemberi gadai (pemilik benda) untuk menebus kembali benda yang dimilikinya dengan sejumlah uang yang diserahkannya kepada penerima gadai ketika perjanjian terjadi.
Gadai tanah adalah salah satu transaksi tanah yang bersumber dari Hukum Adat yang ada dalam Hukum Agraria Nasional.  Istilah gadai tanah dikenal juga sebagai menjual gadai, menggadai atau memagang  atau pagang gadai (Minangkabau),  adol  sende  (Jawa),  ngajual  akad/  gade  (Sunda),  gala  (aceh), yaitu: perjanjian yang menyebabkan tanah diserahkan untuk menerima tunai sejumlah uang, dengan permufakatan bahwa si pemilik berhak mengambil tanah itu kembali dengan membayar dengan sejumlah uang yang sama”.[26]
Gadai tanah adalah merupakan pranata yang muncul dari realisasi kehidupan sosial, yang mengandung nilai hukum dan akan tetapi berada dalam kehidupan  manusia yang menggunakannya.[27]
Lembaga gadai tanah adalah salah satu jenis dari lembaga jaminan yang terdapat di dalam hukum adat dan ternyata hingga sekarang masih banyak dipergunakan oleh sebagian masyarakat Indonesiadalam rangka mencari pinjaman atau kredit. Objek dari lembaga ini yang nampaknya lebih populer adalah tanah, karena tanah mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, serta lebih mudah untuk dijual. Namun menurut  Subekti, objek gadai bukan hanya tanah saja, melainkan dapat juga berupa rumah atau bangunan dan barang-barang tidak bergerak lainnya.[28]
Kata gadai menurut hukum adat dijadikan 2 menurut sifatnya yaitu:
a.       Gadai atas benda yang bergerak
b.      Gadai atas benda yang tidak bergerak
Sedangkan kata gadai atas tanah ini termasuk dalam gadai atas benda yang tidak bergerak yang mempunyai nilai yang cukup tinggi. Dalam hal ini tanah yang digadaikan adalah tanah pertanian. Karena dalam penulisan skripsi ini menggunakan sumber data dari UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960, dimana dalam UUPA tersebut mengatur masalah tanah yang digadaikan yaitu tanah pertanian.
Hubungan hukum antara penerima gadai dengan penggadai dapat kita lihat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960angka 9a adalah sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan gadai ialah hubungan antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain yang mempunyai hutang uang kepadanya, selama utang tersebut belum dibayar lunas maka tanah ini tetap berada dalam penguasaan yang meminjamkan uang tadi (pemegang gadai). Selama itu hasil tanah seluruhnya menjadi hak pemegang gadai, yang dengan demikian merupakan bunga dari uang tersebut.[29]

Dengan adanya aturan hukum yang mengatur tentang gadai atas tanah, masyarakat tidak hanya menerima barang jaminan saja dan menerima uang jaminan terhadap barang yang telah dijaminkan, tetapi pelaksanaan tersebut telah diatur di dalam aturan hukum yaitu UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960untuk menjaga kemungkinan akan ada sengketa tentang tanah yang digadaikan, maka UUPA dan Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960ini dapat digunakan untuk mengatasi sengketa tersebut.
Adapun untuk syarat syahnya perjanjian gadai atas tanah menurut hukum adat adalah berlaku azas riil dan konkrit. Artinya nyata dan jelas dapat ditangkap panca indra kita, penyerahan kekuasaan atas sesuatu benda dan pembayaran suatu harga sewa terjadi secara tunai. Yang penting bagi masyarakat adat dalam membuat perjanjian adalah didasarkan pada kesepakatan bulat dari kedua belah pihak, tunai dan tidak tercela oleh masyarakat dan lingkungannya.
Dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik, sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat di hadapan Lurah/Kepala Desa tetapi jika masyarakat mempersoalkannya, maka masyarakat menganggap soal itu tidak baik, sebenarnya perjanjian itu tidak sah.
Untuk melakukan perbuatan hukum berupa perjanjian gadai tanah pertanian agar mengikat kedua belah pihak, menjadi terang dan tidak gelap maka harus dilaksanakan dihadapan dan dengan bantuan penghulu rakyat atau kepala desa. Tetapi dengan bantuan hukum Lurah/Kepala Desa tersebut berarti bahwa untuk sahnya perjanjian gadai tanah pertanian tidak harus dilaksanakan di hadapan Lurah/Kepala Desa, karena tanpa bantuan Lurah/Kepala Desa pun perjanjian tetap sah dan berlaku terhadap kedua belah pihak itu.

B.  Kedudukan Hukum Adat dalam UUPA
Apabila seseorang berkecimpung dalam bidang hukum telah terbiasa dengan hukum positif tertulis atau peraturan Perundang-undangan, maka dia akan memasuki suatu bidang yang sangat berbeda apabila dia mempelajari hukum adat. Sesuai dengan latar belakang pendidikan serta tujuan pendidikannya itu, maka orang itu sudah terbiasa untuk mempelajari dan menerapkan Peraturan Perundang-undangan yang seragam dan peraturan yang terhimpun dalam suatu kodifikasi. Misalnya:
a.       Peraturan-peraturan perdata di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
b.      Peraturan-peraturan dagang di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (W.V.K)
c.       Peraturan-peraturan hukum pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dsb.
Atas dasar latar belakang pendidikan serta pengalamannya, maka orang tadi kemudian sangat percaya bahwa hukum haruslah senantiasa dipisahkan secara tegas dan mutlak dari kepercayaan: kesusilaan, kesopanan dan hal-hal gaib serta gejala-gejala sosial lainnya.
Pada umumnya ahli hukum (barat) tersebut hanya mengetahui bahwa peraturan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hukum lainnya mempunyai latar belakang sejarah. Akan tetapi pada umumnya tidak mempertimbangkan betapa sejarah dan tradisi dapat dan selalu hidup berdampingan dalam masyarakat, baik pada masa lampau maupun masa kini.[30]
Pada umumnya di dalam sistem hukum Indonesia tradisional terdapat hukum yang tidak tertulis serta hukum yang tidak dikodifikasikan di dalam suatu Kitab Undang-Undang Hukum yang tidak tertulis ini dinamakan “Hukum Adat” yang merupakan sinonim dari pengertian hukum kebiasaan.
Apabila kita jumpai hal-hal yang tertulis, maka hal ini merupakan hukum adat yang tercatat (beschetegen adat recht) dan hukum adat didokumentasikan (documentered adat recht). Pada umumnya hukum adat yang tercatat merupakan hasil-hasil penelitian para ahli yang kemudian dibukukan dalam bentuk monografi-monografi.
Sedangkan hukum adat yang didokumentasikan merupakan pencatatan hukum adat yang dilakukan oleh fungsionaris-fungsionaris atau pejabat-pejabat.
Hukum adat dalam masyarakat berkembang dengan sendirinya, dimana dalam hukum adat tersebut telah dikenakan sanksi bagi yang melanggar yang telah ditentukan oleh masyarakat itu sendiri, serta wajib untuk dilaksanakan. UUPA merupakan hukum positif di Indonesia yang lahir dari hukum adat, atau dapat dikatakan hukum adat yang tidak tertulis merupakan dasar lahirnya UUPA sebagai hukum positif di Indonesia. Sedangkan hukum adat sendiri merupakan hukum positif juga, walaupun banyak sekali hukum yang tidak tertulis di Indonesia, namun sanksinya masih berlaku, dan mengalami perkembangan di mana perkembangan tersebut telah muncul hukum tertulis dan salah satunya adalah UUPA.
Kedudukan hukum adat disini dapat dilihat di dalam UUPA pasal 5, dimana dalam pasal tersebut dikatakan bahwa hukum adat adalah sebagai dasar terbentuknya hukum agraria atau juga dapat dikatakan bahwa: “Hukum agraria nasional adalah berdasarkan hukum adat, yang berarti bahwa hukum adat adalah merupakan dasar dari hukum agraria nasional dimana seharusnya bangunan daripada hukum agraria nasional harus dibina di atas landasannya hukum adat.”[31]
Sedangkan pengertian hukum adat sendiri adalah “Hukum yang karena ia menjelmakan perasaan hukum rakyat yang nyata”[32]. Jadi hukum adat tersebut berurat akar pada kebudayaan tradisional. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pendapat para sarjana tentang definisi hukum adat, baik itu pendapat dari Van Vollenhoven dan Ter Haar  serta pendapat para sarjana lainnya tentang hukum adat.
Menurut pendapat Van Vollehoven hukum adat adalah : “Hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya sendiri dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu”[33]. Sedangkan pendapat Ter Haar tentang hukum adat adalah :
Hukum adat lahir dari dan dipelihara oleh keputusan-keputusan, keputusan para warga masyarakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala-kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal bertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa sepanjang keputusan-keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas seirama dengan kesadaran tersebut diterima/diakui atau setidak-tidaknya ditoleransi olehnya.[34]

Sedangkan definisi hukum adat menurut Wirjono Projodikoro: “Dengan berlakukannya UUPA maka negara Indonesia membuka jalan yang tegas bagi perkembangan hukum di Indonesia ke arah tetap berlakunya hukum adat sebagai inti hukum bagi segenap penduduk Indonesia pada khususnya”[35]. Sedangkan Soeripto menyatakan bahwa “Dalam UUPA tersebut kami ketemukan suatu bukti tentang suksesnya suatu usaha pemakaian hukum adat sebagai dasar dan sebagai hasil usaha menyelamatkan Pancasila dalam pembangunan dan pembinaan tata hukum nasional.”[36]
Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa kedudukan hukum adat terlihat dengan berlakunya UUPA yang lahir dari hukum adat yang tidak tertulis ini juga dinyatakan sebagai hukum yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa (UUPA Pasal 5) atau hukum adat adalah: “merupakan dasar dari hukum agraria nasional dimana seharusnya bangunan daripada hukum agraria nasional harus dibina di atas landasannya hukum adat.”[37]
Undang-Undang Pokok Agraria yang sering disebut UUPA yang lahir pada 24 September 1960, di mana dalam UUPA ini banyak mengatur tentang tanah yang mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan hukum adat. Dimana juga dalam UUPA tersebut berarti bahwa segala masalah harus diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan hukum adat mengenai tanah.
Banyak sekali para ahli berpendapat lahirnya UUPA atau hukum agraria yang telah mengatur tentang tanah yang semula diatur dalam hukum adat. Diantaranya adalah pendapat AP, Perlindungan “Menilai UUPA sebagai karya terbesar di dbidang hukum setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan.”[38] Pendapat lainnya adalah S. Adiwinata menyatakan bahwa “UUPA bukan saja mengadakan perombakan struktural mengenai kedudukan hukum tanah di Indonesia, tetapi juga secara tidak langsung telah merombak sistem hukum adat.”[39] Di sini terbukti bahwa nantinya UUPA merupakan pendobrak hukum yang lain yang bisa dijadikan alat untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.

C.    Dasar Hukum Gadai Tanah
Pengaturan gadai dalam UUPA dapat dilihat pada Pasal 53 jo Pasal 52 (2), yang menentukan bahwa hak gadai tersebut bersifat sementara, hak itu harus diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan UUPA. Pengaturan gadai dalam UUPA itu, kemudian diadakan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Perpu No. 56 Tahun 1960 yang berlaku pada tanggal 1 Januari 1961, oleh Presiden diperintahkan supaya Perpu ini dijalankan, kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Ada 3 soal yang diatur dalam Perpu ini, yaitu:
1.      Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah perkara.
2.      Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian.
3.      Larangan-larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian tidak memberikan suatu pengertian tentang tanah pertanian, sawah dan tanah kering. Untuk menentukan apakah sebidang tanah termasuk golongan sawah atau tanah kering, maka aturannya dapat dilihat dari kenyataan penggunaannya yang secara praktis dapat disebut.
Hak gadai baik atas tanah pertanian maupun tanah bangunan semula diatur dalam hukum adat, kemudian dalam hak gadai disebut Pasal 53 dan Pasal 52 UUPA. Sebagai pelaksanaan daripada pasal 53 tersebut, maka diadakan ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian  diatur tentang soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan (sanksi pada pasal 10). Kemudian dengan keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 10/Ka/1963 ketentuan pasal 7 ditegaskan berlaku juga terhadap gadai tanaman keras, baik yang digadaikan berikut atau tidak berikut tanahnya.
Dengan demikian maka dapatlah dikemukakan bahwa pengaturan hak gadai atas tanah pertanian diatur juga dalam hukum adat, kecuali soal pengembalian dan penebusan tanah telah diatur oleh pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 (PRP) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sedangkan pendaftaran hak gadai semula diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

D.  Subyek dan Obyek Hak Gadai Tanah
Subyek dan obyek hak gadai menurut UUPA dan peraturan-peraturan pelaksananya sama dengan yang diatur dalam hukum adat. Subyek dari hak gadai tanah terdiri dari pemberi gadai dan penerima gadai atau penerima gadai atau penguasa tanah gadai. Obyek dari hak gadai tanah dalam UUPA dan Peraturan- peraturan pelaksananya juga sama dengan obyek yang diatur dalam hukum adat yaitu tanah pertanian.

E.  Sifat dan Ciri-Ciri Hak Gadai Tanah
Sifat dan ciri hak gadai tanah antara lain:[40]
a.       Hak gadai jangka waktunya terbatas, artinya pada suatu waktu akan hapus. Hak gadai berakhir kalau dilakukan penebusan oleh yang menggadaikan. Penebusan kembali tanah yang digadaikan itu  tergantunpada  kemauan  dan  kemampuan  pemiliknya, artinya ia tidak dapat dipaksa untuk menebusnya. Hak untuk menebus itu tidak hilang karena lampaunya waktu ataupun meninggalnya si pemilik tanah. Jika pemilik tanah meninggal dunia hak untuk menebus beralih kepada ahliwarisnya.
b.      Hak gadai tidak berakhir dengan meninggalnya pemegang gadai.Jika pemegang gadai meninggal dunia maka hak tersebut beralih kepada ahli warisnya;
c.       Ha gada dapa dibebani   denga hak-ha tana lainnya.
Pemegang gadai berwenang untuk menyewakan atau membagi- hasilkan tanahnya kepada pihak lain. Pihak lain itu bisa orang ketiga, tetapi bisa juga pihak pemilik tanah sendiri. Pemegang gadai bahkan berwenang juga untuk menggadaikan tanahnya itu kepada pihak ketiga, tanpa perlu meminta ijin atau memberitahukannya kepada pemilik (menganakgadaikan atau Londerverpanden). Perbuatan ini tidak mengakibatkan putusnya hubungan gadai dengan pihak pemilik. Dengan demikian maka tanah yang bersangkutan terikat pada dua hubungan gadai;
d.      Hak  gadai  dengan  persetujuan  pemilik  tanahnya  dapat dialihkan” kepada pihak ketiga, dalam arti bahwa hubungan gadai yang semula menjadi putus dan digantikan dengan hubungan gadai yang baru antara pemilik dan pihak ketiga itu (memindahkan gadai atau doorverpanden);
e.       Hak gadai tidak menjadi hapus jika hak atas tanahnya dialihkan kepada pihak lain;
f.        Selama hak gadainya berlangsung maka atas persetujuan kedua belah pihak uang gadainya dapat ditambah (mendalami gadai);
g.      Sebagai lembaga maka hak gadai pada waktunya akan dihapus;
h.      Hak  gadai  termasuk  golongan  hak  atas  tanah  yang  didaftar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961.
Pada  point  nomor  8  yang  menyatakan  bahwa  hak  gadai  termasuk golonga ha atas   tana yang  didafta tidaklah  berlaku   sekarang Tidak berlakunya dikarenakan peraturan yang mengaturnya telah disempurnakan. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut hak gadai tanah bukanlah termasuk obyek hak atas tanah yang harus didaftar. Jadi sejak berlakunya peraturan tersebut hak gadai tanah tidak lagi harus didaftar

F.   Jangka Waktu Gadai Tanah Pertanian
Jangka waktu gadai tanah pertanian ini diatur sebagai berikut:[41]
a.    Ketentuan pasal 7 ayat Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian menetapkan jangka waktu selama 7 tahun;
b.    Jika terjadi pendalaman gadai, jangka waktu 7 tahun dihitung sejak uang gadainya ditambah;
c.    Jika terjadai pemindahan hak gadai kepada orang lain, jangka waktu 7 tahun itu dihitung sejak terjadinya pemindahan gadai tersebut;
d.    Jika  terjadi  penganakgadaian,  jangka  waktu  7  tahun  dihitung  sejak gadai yang pertama di adakan.

G.  Hapusnya Gadai Tanah
Hak  gadai  tanah  ini  akan  hapus  atau  berakhir  dengan  hal-hal  sebagai berikut:[42]
a.         Telah dilakukan penebusan oleh pemilik tanahnya;
b.        Bagi tanah pertanian, hak gadai berakhir setelah berlangsung 7 tahun tanpa uang tebusan;
c.         Atas  dasar  putusan  pengadilan  dalam  rangka  menyelesaikan  milik beding[43]
d.        Tanahnya dicabut untuk kepentingan umum;
e.         Tanahnya musnah.



BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.  Mengapa Anggota Masyarakat Melakukan Gadai Tanah
Telah menjadi kenyataan bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, masyarakat selalu menempatkan biaya sebagai salah satu unsur pokok yang senantiasa dapat menutupi semua kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan yang bersifat dadakan. Selain untuk menutupi kebutuhan keseharian masyarakat, biayapun menjadi suatu unsur penting untuk melakukan suatu kegiatan usaha dari segi permodalan.
Guna menutupi kebutuhan biaya tunai yang sangat mendesak, masyarakat seringkali merasa kewalahan dan panik sehingga memungkinkan terjadinya berbagai hal yang diluar kendali mereka. Namun dalam komunitas masyarakat adat, kebutuhan tersebut dapat diselesaikan dengan beberapa cara termasuk melakukan kegiatan gadai tanah pertanian (grondsverpanding). Dengan cara tersebut mereka akan dapat menyelesaikan berbagai persoalan yang mereka hadapi sehubungan dengan kebutuhan biaya. Biaya yang dibutuhkan tersebut biasanya bersifat insidentil dan spontan. Oleh karena itu keberadaan lembaga gadai tanah merupakan suatu sarana penunjang dalam melanjutkan eksistensi suatu kelompok masyarakat.
Pada masyarakat adat yang ekonominya tergolong menengah hingga ke bawah, masih merasa sulit untuk mendapatkan pinjaman dana dari lembaga perbankan yang sifatnya kecil, konsumtif dan dengan waktu yang cepat. Kesulitan ini disebabkan karena lembaga perbankan sangat menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam menyalurkan kreditnya dengan prosedur yang cukup rumit, membutuhkan waktu dengan jaminan barang-barang tertentu.
Sebagaimana yang diungkapkan pendapat masyarakat Desa Tambakromo Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi :
“ Kulo niki betah arto kangge kabetahan bayar sekolah anak-anak kulo, kamangko betahipun arto menika kedah cepet, amargi sampun nunggak bayar SPP, inggih kadahipun kula sabin, kepekso sabin kula gadai dateng tiyang sanes kangge nutup bayar sekolahipun anak kulo (Saya ini butuh uang untuk membayar sekolah anak-anak saya, sementara kebutuhan uang harus cepat, karena sudah menunda pembayaran SPP, yak arena saya punya sawah terpakasa saya gadaikan ke orang lain untuk melunasi pembayaran sekolah anak saya).[44]

Sebagaimana pendapat diatas menyebabkan masyarakat pedesaan, khususnya golongan menengah ke bawah untuk tetap melakukan pinjaman dana kepada perorangan dengan cara menggadaikan tanahnya kepada si peminjam uang. Selain itu pula, dipilihnya cara dengan menggadaikan tanah untuk mendapatkan pinjaman dana dikarenakan belum adanya kepastian waktu mengenai pengembalian uang pinjaman. Hak gadai tanah merupakan salah satu hak atas tanah yang bersifat sementara. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 53 ayat 1 UUPA.
“Hak-hak yang sifatnya sementara  sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.”

Gadai tanah dalam hukum adat termasuk transaksi yang sering dilakukan masyarakat di pedesaan. Gadai yaitu menjadikan suatu barang sebagai jaminan kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh atau mendapatkan pinjaman uang. Gadai merupakan salah satu cara yang   dilakuka manusia   untuk   saling tolong-menolong, dan memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Masyarakat pedesaan sudah lama mengenal dan menjalankan teransaksi gadai-menggadai bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan sejak lama. Hal ini berlangsung sejak zaman nenek moyang mereka. Gadai tanah merupakan cara berhubunga baik   dala ha tolong-menolong   sesamanya karena   mata pencaharian masyarakat desa umumnya adalah petani, maka yang menjadi objek gadai adalah tanah  pertanian (sawah). Biasanya alasan masyarakat menggadaikan sawahnya adalah untuk meminjam uang untuk memenuhi kebutuhan yang mendesak dan membutuhkan biaya yang cukup besar.
Mengenai pengetahuan masyarakat pedesaan tentang gadai, dalam hal  ini  dimaksudkan  adalah  masyarakat  yang  pernah  terlibat  langsung  dalam transaksi gadai tanah sawah tersebut. Sebagaimana diungkapkan Bapak Tarmizi tokoh masyarakat Desa Tambakromo Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi:
Gadai tanah dilakukan  seseorang yang mempunyai benda atau barang dan mereka membutuhkan uang, lalu meminjam uang  dengan  orankaya  dengan  menjaminkan  barang/sawah  yang  mereka miliki,  harga barang biasanya senilai dengan uang yang dia pinjam. Menggadaikan sawah, merupakan salah satu cara yang  dianggap mudah dalam mengatasi keperluan yang sangat mendesak. Walaupun demikian mereka menanggung  resiko  tidak  bisa  lagi  menggarap  sawah  sebelum  uang  yang  di pinjam tersebut dilunasi. Biasanya sawah yang digadaikan 1 hektare atau masyarakat Desa Tambakromo biasa menyebutnya sebidang. Harga sebidang sawah sawah untuk saat ini berkisar 50-100 juta. [45]

Barang yang menjadi objek gadai adalah sawah, karena selain banyak orang yang menerimanya karena nilai jualnya yang tinggi juga sawah dapat dimanfaatkan  dan  dinikmati  hasil  panennya. Di samping itu juga mereka mengatakan bahwa tidak ada barang lain yang bisa dijadikan barang jaminan.
Sebenarnya secara ekonomi langkah masyarakat menggadaikan sawah untuk memenuhi kebutuhan hidup itu merupakan salah satu hal yang beresiko, dikarenakan sawah yang digadaikan itu merupakan sumber mata pencaharian mereka.  Namun  mereka  tetap  melakukannya  karena  itulah  cara  yang  paling mudah  untuk  mendapatkan  uang,  daripada  meminjam  uang  di  bank  yang administrasinya sangat rumit. Mereka lebih suka menggadaikan sawah daripada menjualnya, karena dengan cara menggadaikan suatu saat nanti mereka dapat mengambil kembali sawah tersebut.
Mengenai gadai ini  pada awalnya  masyarakadesa melakukannya pada orang-orang terdekat saja, misalnya keluarga ataupun kerabat dekat. Namun, pada saat ini lebih bnyak diantara mereka menggadaikan sawah kepada orang-orang yang kaya dari luar desa, karena lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman. Jika ingin melakukan gadai kepada  kepada pihak yang berwenang seperti pegadaian, selain sistemnya yang rumit masyarakat juga sangat minim pengetahuannya tentang gadai melalui lembaga pembiayaan.
Kelihatan sekali bahwa masyarakat pedesaan melakukan gadai dikarenakan ikut-ikutan dari kebiasaan yang sudah berlaku hingga sekarang. Sehingga terkadang mereka sangat dirugikan oleh pihak penerima gadai. Mulai dari pengusaan barang gadai sampai bunga yang diterapkan. Semua hal itu terjadi karena  kurangnya  pengetahuan  masyarakat  tentang  gadai  dan  hanya memanfaatkan pengetahuan yang mereka ketahui dari orang-orang terdahulu. Sehingga tidak ada landasan hukum yang mereka pegang.
Sebagaimana diungkapkan Kepala Desa Tambakromo Bapak Subandono yang menyatakan :
“ Masyarakat desa melakukan gadai tanah itu selain karena keperluan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang mendesak seperti untuk berobat karena sakit, atau anggota keluarga yang sakit, karena keperluan membayar biaya sekolah atau karena mau melaksanakan kegiatan hajatan (menikahkan anak), tetapi terkadang ada juga yang hanya ikut-ikutan untuk keperluan yang sifatnya konsumtif seperti untuk membeli perabotan rumah tangga atau membeli kendaraan bermotor. Pada dasarnya alas an masyarakat melakukan gadai karena adanya keperluan yang mendesak dan upaya yang paling gampang dengan menggadaikan tanah sawahnya.”[46]

Berdasarkan penelitiayang telah dilakukan, penulis mendapatkan data bahwa di dalam melaksanakan transaksi gadai mereka harus memenuhi beberapa syarat. Adapun syarat gadai yang dimaksud untuk menyatakan sahnya suatu akad antara penggadai dan penerima gadai.
Syarat- syarat melakukan gadai antara lain:
a.    Sawah tersebut adalah hak milik penggadai, bukan hak milik orang lain;
b.    Luas sawah yang di gadai sudah di ketahui oleh penerima gadai;
c.    Dalam melaksanakan transaksi gadai, penggadai dan penerima gadai tidak boleh diwakilkan.
Menurut mereka yang pernah melakukan gadai sawah, hal ini terjadi karena keadaan yang memaksa untuk itu seperti biaya untuk berobat kerumah sakit, biaya anak sekolah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mereka meminjam uang kepada orang yang mampu dengan memakai jaminan untuk memperkuat kepercayaan, yang mana barang jaminan tersebut mempunyai nilai yang cukup tinggi.
Wujud  pelaksanaan gadai tanah, masyarakat desa mengadakan perjanjian ada yang tertulis dan ada juga yang tidak tertulis atau lisan karena merupakan adat. Tapi kebanyakan masyarakat melakukan perjanjian secara lisan, karena cara ini dianggap lebih mudah dan lebih cepat pelaksanaannya serta tidak berbelit-belit. Dalam pelaksanaan gadai menggadai di desa, khususnya sawah,  apabiltelah  melakukan  gadai  penerima  gadai  memberikan  uangnya kepada penggadai dan terjadilah gadai, dan sejak itulah penerima gadai berhak menguasai sawah yang telah dijadikan jaminan oleh penggadai. Dan biasanya penerima gadai menguasai penuh atas barang yang digadaikan seperti menikmati hasil dan memanfaatkan sawah tersebut sampai pada batas waktu jatuh tempo atau  jika tidak memiliki batas waktu, batas waktunya sampai penggadai mempunyai uang untuk membayar hutangnya.

Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa Perangkat Desa menyatakan bahwa :
“Masyarakat desa menggadaikan tanah sawah kebanyakan hanya dilakukan dengan cara lisan tanpa bukti tertulis (bentuk perjanjian), karena masyarakat desa cenderung saling percaya karena biasanya dilakukan masih kerabat/keluarga. Jadi karena adanya keperluan yang mendesak untuk membutuhkan uang, dan disepakati untuk menggadaikan tanah sawah sewaktu-waktu sudah memiliki uang akan segera menebusnya. Karena kalau mau pinjam ke Bank harus melalui prosedur yang rumit dan membutuhkan jaminan/agunan, prinsipnya masyarakat desa tidak mau terbelit-belit”[47]

Kemudian dijelaskan ada seorang petani atau orang yang memiliki lahan atau sawah membutuhkan uang. Kemudian dia meminjam uang kepada orang lain dengan jaminan barang berupa sawah, Dengan menggunakan akad gadai. Kemudian sawah tersebut dipindah tangankan kepada pemberi hutangSawah yang menjadi jaminan tersebut berada dalam penguasaan pemberi hutang sampai pelunasan hutang. Selama berada ditangan pemberi hutang, hak penggarapan dan penanaman sawah berada ditangan pemberi hutang. Hasil panen yang melimpah dari sawahpun menjadi hak dari pemberi hutang. Hasil panen yang melimpah dari sawah pun menjadi hak pemberi hutang. Terkadang apabila hutang belum dilunasi mencapai waktu bertahun-tahun sehingga hasil keuntungan menggarap sawah itu sudah lebih besar dari nilai hutang yang dipinjamkan.
Berdasarkan hal di atas bahwa yang banyak mendapatkan keuntungan adalah penerima gadai, karena sesudah terjadinya akad gadai, penerima gadai langsung dapat menguasai sawah tersebut. Apabila saat jatuh tempo dan pemberi gadai belum  mampu  membayar  hutangnykepada  penerima  gadai,  maka  gadai tersebut terus berlanjut dan penerima gadai terus dapat menguasai sawah tersebut. Karena didalam prakteknya, dalam gadai) sawah ini ada indikasi sebagai tempat untuk mencari keutungan bagi para pihak penerima gadai  karena  mereka  berprinsip  tidak  mau  memberikan  uang  dengan  sia-sia  tanpa mengambil manfaat dari barang gadai tersebut.
Lain halnya dengan pemberi gadai mereka berada di pihak yang lemah, walaupun mereka mendapatkan uang atas barang (sawah) yang di gadaikan. Namun harga tersebut tidak sebanding dengan harga sawah ataupun hasil dari pemanfaatan sawah tersebut. Sebagaimana misalnya harga sawah Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan barang tersebut digadaikan dengan harga Rp. 1.000.000,-  (satu juta rupiah) sampai Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Dengan tergadainya sawah mereka maka mereka tidak dapat lagi menggarap sawah dan mengambil manfaat dari sawahnya, apalagi sawah dibawah kuasa penerima gadai.
Berdasarkan kenyataan dalam masyarakat tidak sedikit orang yang terjebak karena keadaannya, sehingga ia berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya. Di pihak lain ada yang memanfaatkan hal tersebut yang ingin menikmati kesenangan dan memenuhi kebutuhan hidup.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat desa menggadikan sawahnya dikarenakan beberapa hal, dan alasan yang paling banyak adalah karena faktor ekonomi yang kurang mencukupi, ada juga yang melakukan gadai dikarenakan keadaan yang mendesak seperti biaya perkawinan, biaya pendidikan,  biaya  berobat,  biaya  pesta  perkawinan,  selain  itu  ada  juga  yang memanfaatkan untuk pengembangan modal usaha. Dapat dilihat bahwa masyarakat terkadang sangat mementingkan pendidikan anaknya, karena saat ini makin banyak orang tua yang sadar akan pentingnya pendidikan anaknya sehingga mereka tidak memikirkan berapa besar harga yang harus dibayar, bahkan jika mereka harus menggadaikan sawahnya. Dan merekia berharap supaya kehidupan anak-anaknya jauh lebih baik dari mereka dan sukses dalam berkarir, serta dapat membahagiakan mereka ketika mereka sudah lanjut usia nanti.
Sebagaimana pendapat salah satu warga masyarakat yang menyatakan :
“ Kulo niki gadahipun namung sabin amargi kulo niki riyen tiyang bodo mboten sekolah sagetipun namung nggarap sabin, tapi anak kulo sak saget sagetipun kedah sekolah sing duwur supadhos saget nyambut damel engkang langkung sekeco. Amargi anak kulo betah arto kangge bayar sekolahipun inggih kepekso gadahan kulo namung sabin, inggih kulo ikhlasaken kulo sade/ gadai mawon kangge kabetahanipun anak kulo (Saya ini punyanya hanya sawah karena saya ini dulunya orang bodoh bisanya hanya mengerjakan sawah, tetapi anak saya sebisa-bisanya harus sekolah yang tinggi supaya bisa memiliki pekerjaaan yang lebih baik. Karena anak saya membutuhkan uang untuk membayar sekolah ya terpaksa kepunyaan saya hanya sawah, ya saya ikhlaskan untuk dijual gadai untuk keperluan anak saya).”[48]

Sedangkan faktor masyarakat yang mau menerima gadai dikarenakan mereka mendapatkan keuntungan dari hasil barang yang digadaikan dan ada juga yang meminjamkan uang dengan menerima barang sebagai jaminan untuk mengantisipasi  kalau  nanti  penggadai  tidak  mampu  membayar  hutang  atau sengaja tidak mau membayar hutangnya. Di samping untuk membantu orang yang sedang mengalami kesusahan apalagi dalam masalah finansial/uang,  mungkin suatu saat seseorang  akan mendapatkan kesusahan dan perlu bantuan orang lain karena hidup seperti roda yang berputar, kadang manusia berada di atas dan terkadang berada dibawah. Oleh kerena itu, manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa orang lain jadi sesama manusia harus dikembangkan sikap saling tolong-menolong.
Sebagaimana yang diungkapkan salah satu penerima gadai/pembeli gadai yang menyatakan :
“Saya mau membeli gadai tanah sawah karena hanya ingin menolong saudara saya yang lagi membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, Prinsip saya disamping menolong saudara yang membutuhkan juga karena saya percaya bahwa saudara saya nanti dapat segera melunasi untuk menebus kembali tanah sawahnya. Kita saling percaya dan saling tolong menolong.”[49]

B.  Sejauhmana Gadai Tanah Terjadi Sengketa dan Penyelesaiannya
Pelaksanaan gadai tanah yang dilakukan masyarakat pedesaan yang cenderung dilaksanakan dengan cara yang sederhana, mudah, dan tidak terbelit-belit dengan dasar rasa percaya satu sama lainnya merupakan salah satu prinsip dasar adanya gadai tanah terus berkembang sampai saat ini.
Gadai  tanah  dilakukan  hanya  dengan perjanjian lisan (jarang sekali dilakukan dalam bentuk tertulis) yang dilakukan dihadapan kepala desa dan saksi. Proses yang demikian membuat orang-orang desa lebih suka melakukannya disaat ada keperluan uang mendadak dan tidak kehilangan kepemilikan atas tanahnya.
Pelaksanaan gadai tanah yang tidak menggunakan perjanjian secara tertulis sebenarnya akan menimbulkan resiko dikemudian hari. Resiko yang akan banyak  terjadi  adalah perebutan kepemilikan  tanah  obyek  gadai, hal inilah yang terkadang tidak terpikiran oleh masyarakat pedesaan. Banyak kasus yang harus masuk dalam ranah pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian.[50]
Gadai tanah adalah suatu transaksi (penyerahan) tanah kepada pihak lain (pemegang/penerima gadai) dengan menerima sejumlah uang pembayaran dengan tunai, dengan perjanjian, bahwa pemberi gadai (yang menyerahkan atau yang mempunyai tanah) berhak menarik tanah itu dengan jalan menebus pembayaran di atas.
Timbullah bagi pemegang gadai suatu hak akibat gadai itu untuk menarik segala manfaat baginya dari tanah itu, ia hanya berkewajiban mengembalikan tanah  itu  kepada pemberi  gadai.  Gadai  tanah  mempunyai  suatu  dasar,  bahwa gadai tanah adalah suatu transaksi (penyerahan) tanah kepada pihak lain (pemegang/penerima gadai) dengan menerima sejumlah uang pembayaran dengan tunai, dengan perjanjian, bahwa pemberi gadai (yang menyerahkan atau yang mempunyai tanah) berhak menarik tanah itu dengan jalan menebus pembayaran di atas.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya hak gadai tanah pada dasarnya timbul dikarenakan kebutuhan seseorang akan uang  yang  tidak  dapat  ditunda,  sehingga  apabila  tidak  dapat  memperoleh pinjaman uang, maka dilakukan transaksi ini. Transaksi ini mulai terjadi pada waktu si pemilik tanah sudah menerima uang tunai dan sebagai gantinya maka diserahkan tanahnya kepada pihak pemberi uang yang kemudian disebut dengan pemegang  gadai  dan  selama  itu  pula  hasil  tanah  seluruhnya  menjadi  hak pemegang gadai.
Sebagaimana konsekuensi dari sifat hubungan gadai tanah adalah sebagai berikut:[51]
1.    Transaksi jual gadai tanah bukanlah perjanjian utang piutang dengan tanggungan/jaminan tanah, sehingga pembeli gadai tidak berhak menagih uangnya dari penjual gadai;
2.    Penebusan gadai tergantung kepada kehendak penjual gadai. Hak menebus itu bahkan dapat beralih kepada ahliwarisnya;
3.    Uang  gadai  hanydapat  ditagih  oleh  pembeli  gadai,  dalam  hal transaksi jual gadai itu disusul dengan penyewaan tanah tersebut oleh  si penjual gadai sendiri, dengan janji: jika si penjual (merangkap penyewa) tidak membayar uang sewanya, maka uang gadai dapat ditagih kembali oleh si pembeli (merangkap penguasa atas tanah yang kini berfungsi rangkap menjadi obyek gadai dan sekaligus obyek sewa pula).
Permasalahan yang sering terjadi terkait dengan timbulnya sengketa tentang gadai tanah antara lain disebabkan :
1.    Tidak adanya perjanjian tertulis
Gadai tanah pertanian biasanya dilakukan di muka kepala desa atau adat. Kehadiran pejabat tersebut umumnya bukan merupakan syarat bagi sahnya gadai tanah pertanian itu, melainkan dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan dan dengan demikian mengurangi risiko pemegang gadai jika dikemudian hari ada sanggahan. Biasanya yang terjadinya perbedaan persepsi antara pemberi gadai dan penerima gadai dikarenakan peristiwa hukum  yang  terjadi  tidak  dituangkan  ke dalam  perjanjian  yang sah menurut peraturan perundang-undangan. Peristiwa tersebut hanya dilakukan dengan perjanjian lisan saja karena hanya didasari unsur kepercayaan terhadap Kepala Desa bahwa permasalahan gadai tanah dapat diselesaikan tanpa memperhitungkan resiko yang terjadi dikemudian hari.
2.    Tidak adanya saksi dalam perjanjian gadai.
Gadai tanah pertanian bisa saja tidak dilakukan di depan kepala desa ataupun kepala adat. Perjanjian gadai tanah pertanian tersebut juga tidak dilakukan secara tertulis tapi hanya secara lisan saja. Tidak dilakukannya gadai tanah pertanian di depan kepala desa atau adat, tidak secara tertulis, dan lebih-lebih pemberi dan penerima gadai sendiri sudah meninggal dan hubungan gadai dilanjutkan oleh para ahli warisnya, merupakan keadaan yang biasanya menimbulkan perkara gadai. Jika sudah demikian maka keterangan saksi merupakan satu-satunya untuk pembuktian.
Orang yang melakukan gadai tanah pertanian memang banyak dilakukan secara lisan. Hal tersebut dilakukan karena dalam hukum adat dan kebiasaan  selama  ini   gadai  tanah  hanya  dilakukan  secara  lisan  saja. Sementara setelah  gadai  tanah diatur oleh peraturan perundang-undangan, peraturan yang mengatur tentang gadai tanah juga tidak mengatur secara jelas bentuk dari perjanjian gadai tersebut.
Sebagaimana pendapat dari Kepala Desa Margomulyo Kecamatan Ngawi Kabupaten Ngawi yang menyatakan :
“Sebagaian besarpenduduk saya melakukan gadai tanah hanya berdasarkan unsur saling percaya satu sama lain, Karena kebutuhan yang mendesak dan untuk memeperoleh cara yang lebih mudah mereka menggadaikan tanah (adol sende) kepada kerabat atau orang lain tetapi rata-rata masih penduduk Desa Margomulyo. Kalau tanah yang digadaikan luas mereka melakukan perjanjian dihadapan saya selaku Kepala Desa, akan tetapi kalau tanah yang digadaikan relative sempit mereka hanya melakukan dengan cara lisan saja, yang penting saling percaya bahwa kalau mereka punya uang akan segera menebusnya.”[52]

Peraturan gadai tanah yang tidak mengatur secara jelas bentuk perjanjian gadai ini ternyata menjadi alasan dari banyak masalah gadai tanah yang  terjadi di desa.  Jika  memang  bentuk  perjanjian  ini menjadi banyak alasan masalah dalam gadai tanah, seharusnya bentuk dari perjanjian diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan tentang gadai tanah.
Pengaturan tentang bentuk perjanjian ini yaitu dengan bentuk tertulis akan dapat memperkecil permasalahan yang akan timbul dalam gadai tanah. Perjanjian tertulis yang ada dalam perjanjian gadai tanah menjadi suatu bukti untuk pemberi gadai. Jika gadai tanah pertanian telah berlangsung selama 7 tahun tetapi tanah gadai belum dikembalikan, maka pemberi gadai bisa menggunakan perjanjian tertulis tersebut sebagai bukti agar tanahnya dikembalikan.
Penjabaran di atas dapat menggambarkan bahwa perlindungan hukum terhadap perjanjian gadai tanah belum terlaksana dengan baik karena pengaturan yang tidak jelas dalam bentuk perjanjian gadai tanah. Hal ini membuat pelaksanaan gadai tanah lebih banyak dilakukan dalam perjanjian lisan. Bentuk yang seperti ini menjadikan pelaksanaan juga tidak didaftarkan seperti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Selain kurang jelasnya peraturan perundang-undangan tentang gadai tanah yang mengatur bentuk perjanjian gadai tanah juga terdapat peraturan mengenai pendaftaran gadai tanah yang bermasalah. Masalah dalam peraturan perundang-undangan  yang  mengatur  mengenai  pendaftaran  adalah dikarenakan pengaturan pendaftaran gadai tanah dalam Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri Agraria No. Sekra 9/1/2 tentang Pelaksanaan Perpu Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dikesampingkan karena adanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Uraian tersebut menjelaskan bahwa peraturan yang mengatur gadai tanah perlu didaftarkan menjadi tidak berlaku. Tidak berlakunya ini membuat pendaftaran gadai tidak terjadi dan sehingga kontrol terhadap pelaksanaan gadai menjadi susah dilakukan, Tidak terkontrolnya pelaksanaan gadai ini dapat berakibat terjadinya permasalahn dalam pengembalian gadai dan besar kepenguasaan  tanah  pertanian  terkait  peraturan  mengenai  penetapaluas tanah pertanian.
Jadi tidak jelasnya pengaturan mengenai bentuk perjanjian dalam peraturan perundang-undangan tentang gadai tanah dan tidak adanya lagi peraturan mengenai pendaftaran gadai tanah pertanian merupakan hal yang membuat  pelaksanaan  gadai  tanah  banyak  terjadi  masalah.  Permasalahan yang terjadi karena masih kurangnya jangkauan peraturan perundang- undangan terhadap pelaksanaan gadai tanah membuat perlindungan hukum atas perjanjian gadai tanah belum terwujud.
Perlindungan hukum gadai tanah dapat terwujud dengan mengubah atau mengisi kekurangan yang ada. Uraian di atas menggambarkan bahwa bentuk perjanjian gadai tanah belum diatur secara jelas. Jadi, perlu adanya pengaturan yang jelas tentang bentuk perjanjian gadai tanah agar perlindungan hukum gadai tanah terwujud.
Salah satu diantara hal yang sangat rentan dapat menimbulkan permasalahan dan konflik dalam perjanjian gadai tanah diantara para pihak yang melakukan perjanjian ini ialah mengenai waktu gadai yang merupakan masa atau lamanya barang gadai berada di tangan penerima gadai hingga sampai pada saat pemberi gadai dapat menebusnya kembali.Waktu gadai tanah merupakan satu bagian penting dalam perjanjian transaksi gadai, sehingga memerlukan kepastian masa berakhirnya.[53]
Berdasarkan hukum adat, upaya yang dapat dilakukan agar tidak terjadi perselisihan para pihak yang melakukan perjanjian, waktu penebusan gadai tanah tersebut terserah kepada pemberi gadai, akan tetapi hal ini tidak berarti pemberi gadai bebas mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan, sehingga dapat merugikan penerima gadai, kecuali untuk tanah gadai yang tidak diusahakan. Untuk tanah gadai yang diusahakan harus memperhatikan hal-hal berikut :[54]
a.    Untuk tanah sawah, jika yang mengerjakan sawah itu penerima gadai, maka pemberi gadai harus menunggu penyerahan kembali tanah gadai setelah tanaman dipanen, atau “hak ketam” (memungut hasil tanaman/panen) tetap berada pada pemilik tanaman atau penggarap tanaman itu, kecuali disepakati kedua belah pihak bahwa pemberi gadai mengganti kerugian yang diminta penerima gadai/penggarap.
b.    Untuk tebat atau tanah perikanan yang diusahakan pemberi gadai harus memberikan kesempatan bagi penerima gadai/pengusaha perikanan tersebut untuk menikmati hasil ikan semusim atau mengambil kembali bibit ikannya demikian pula untuk buah-buahan kesempatan panen bagu penerima gadai/penggarapnya harus diberikan.
Mengenai gadai khususnya tanah pertanian yang semula diatur oleh hukum adat, setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yakni dalam Pasal 53 yang mengamanatkan hak gadai sebagai hak yang bersifat sementara dan diupayakan hapus dalam waktu yang singkat.
Guna  menindak lanjutinya maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 56 PRP Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dalam Pasal 7, yang menyebutkan mengenai batas waktu penebusan gadai atas tanah pertanian yaitu sebagai berikut :
1.      Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung 7 tahun atau lebih wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan tidak ada hak untuk menuntut pembayaranuang tebusan.
2.      Mengenai hak gadai yang pada mulai berlakunya peraturan ini belum berlangsung7 (tujuh) tahun, maka pemilik tanahnya berhak untuk meminta kembalisetiap waktu setelah tanaman yang ada selesai dipanen, dengan membayar uang tebusan yang telah ditentukan dan dengan ketentuan bahwa sewaktu-waktu hak gadai itu telah berlangsung 7 tahun maka pemegang gadai wajib mengembalikan tanah tersebut tanpa pembayaran uang tebusan, dalam waktu sebulan setelah tanaman yang ada selesai di panen.
3.      Ketentuan dalam ayat (2) dua Pasal ini berlaku juga terhadap hak gadai yang diadakan sesudah mulai berlakunya peraturan ini.
Ketentuan yang termuat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luasnya Tanah Pertanian ini dimaksudkan pula untuk melindungi pihak yang ekonominya lemah yaitu petani, yang karena berada dalam keadaan mendesak dan memerlukan uang untuk mencukupi kebutuhan sehari-harinya sehingga mereka menggadaikan tanah sawahnya dalam tenggang waktu 7 (tujuh) tahun.
Dalam waktu inilah si penerima gadai dianggap telah cukup banyak mengambil/memperoleh manfaat dari sawah tersebut sehingga telah memperoleh kembali uang gadai yang telah dikeluarkannya. Namun jika ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini diterapkan secara mutlak dalam masyarakat, maka ada beberapa kelemahan yang terdapat didalamnya. Yakni tidak ada pertimbangan mengenai hasil yang diperoleh oleh penerima gadai selama waktu gadai. Di mana bisa saja terjadi keuntungan / manfaat dari tanah yang tidak sebanding dengan uang gadai yang dibayarnya kepada pemberi gadai, karena mungkin saja tanah yang digadaikan tersebut kurang subur, terjadi kegagalan panen atau tanah tersebut memang sengaja tidak diusahakan karena penerima gadai hanya bermaksud menolong pemberi gadai saja. 
Jadi dengan demikian ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini tidak selamanya cocok untuk semua masyarakat Indonesia, di mana bagi pihak tertentu hal demikian dirasakan tidak memberikan keadilan. Di samping itu tidak pula cocok untuk semua pemegang gadai. Karena apabila ketentuan ini diberlakukan pada penerima gadai yang beritikad baik hanya untuk menolong pemberi gadai yang sedang memerlukan uang, maka mengembalikan tanah gadai tanpa adanya uang penebusan sangatlah tidak adil.
Selain itu ketentuan yang ada dalam pasal 7 ini dapat saja disalahgunakan oleh pemberi gadai yang mempunyai itikad tidak baik, yakni pemberi gadai yang sengaja menggadaikan tanah miliknya, kemudia dengan sengaja pula ia mengulur-ulur waktu untuk melakukan penebusan. Sedangkan penerima gadai tidak mempunyai kekuasaan untuk menuntut pemberi gadai (pemilik tanah) untuk menebus tanah miliknya, hingga setelah lampau 7 tahun pemberi gadai dapat mengambil kembali tanah miliknya tanpa harus membayar tebusan. Oleh karena itulah pasal ini dianggap tidak efektif bagi masyarakat Indonesia, sehingga mereka lebih memilih tetap berpegang pada ketentuan gadai tanah menurut hukum adat yang tidak mengenal daluwarsa. 
Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa pasal 7 Undang-Undang Nomor 56 PRP tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ini, juga diberlakukan untuk gadai dengan objek gadai tanah-tanah pekarangan dan rumah melalui Keputusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1976 Nomor 38 K / Sip / 1961, namun karena pasal ini dianggap tidak efektif di dalam masyarakat maka mereka juga tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan gadai dalam hukum adat, dengan demikian bila dan kapan waktu penebusan kembali rumah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh pemberi gadai adalah terserah pada kehendak dan kemampuan si pemberi gadai itu sendiri.[55]
Ini berarti dalam perjanjian gadai atas rumah tinggal waktu gadai ditentukan berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak dan apabila pemberi gadai belum mampu untuk menebus kembali rumah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai, Penerima gadai tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada pemberi gadai untuk segera menebus kembali rumah yang telah digadaikannya tersebut. Jika penerima gadai berada dalam keadaan membutuhkan uang sedangkan pemberi gadai (pemilik rumah) belum mampu untuk menebus kembali rumah yang dijadikannya sebagai objek gadai, maka penerima gadai dapat “mengalihkan gadai” atau “memindahkan gadai” dan “menganakgadaikannya”. Kedua tindakan ini merupakan bentuk perlindungan kepentingan bagi si penerima gadai.
Pada kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih sering menggunakan bentuk perjanjian secara lisan dibandingkan tulisan. Mereka belum menyadari bahwa perjanjian yang dibuat dalam bentuk tulisan memperkecil kemungkinan timbulnya sengketa di kemudian hari.
Perjanjian gadai tanah yang dibuat secara lisan hanya dilandasi dengan kepercayaan dan itikad baik dari kedua belah pihak, mungkin hal ini dilakukan karena kedua belah pihak tidak ingin merusak hubungan baik antara mereka dengan membuat surat perjanjian yang seakan-akan tidak ada kepercayaan diantara mereka. 
Dengan seringkalinya terjadi hal seperti ini, maka timbullah berbagai masalah di antara kedua belah pihak dalam pelaksanaan perjanjian gadai tanah. Yang salah satunya adalah mengenai batas waktu penebusan tanah sebagai objek gadai. Karena tidak adanya ketentuan yang tertulis dan bersifat pasti mengeni batas waktu penebusan ini, sehingga pemberi gadai dengan leluasa dapat mengulur-ulur waktu dilakukannya penebusan yang berakibat kerugian bagi penerima gadai.
Sedangkan dalam perjanjian gadai adat tanah yang dibuat secara tertulis, biasanya dituangkan diatas sehelai surat bermaterai ( surat segel ) yang berisi mengenai objek gadai, waktu gadai dan nilai gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak dengan dibubuhi tanda tangan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan beberapa orang saksi, hal ini lebih memberikan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak.
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Waktu penebusan tanah sebagai objek gadai yang dimuat didalam surat perjanjian itu, apabila sampai pada waktu yang telah diperjanjikan maka si pemilik tanah (pemberi gadai) harus menebus kembali tanah tersebut dari tangan si penerima gadai dengan menyerahkan sejumlah uang sebagai pembayaran yang telah ditentukan di dalam perjanjian semula dan pemberi gadai tidak boleh menolak dengan alasan apapun juga.
Jadi apabila pada saat pelaksanaan perjanjian gadai tanah terjadi suatu peristiwa, dimana pemilik tanah (pemberi gadai) belum mampu untuk menebus kembali tanah miliknya yang dijadikan sebagai objek gadai tepat pada waktu yang telah diperjanjikan, maka upaya penyelesaiannya dapat dilakukan dengan jalan memperpanjang perjanjian gadai tanah tersebut, dengan ataupun tanpa disertai tambahan uang pinjaman, hal ini dapat terjadi apabila kedua belah pihak mengadakan kesepakatan lagi.
Upaya selanjutnya yang dapat menjadi salah satu alternatif penyelesaian masalah tidak dapat ditebusnya tanah yang merupakan objek gadai oleh pemiliknya, adalah penerima gadai dapat menggadaikan kembali ( mengalih gadaikan ) tanah tersebut kepada pihak lain dengan ataupun tanpa persetujuan si pemilik tanah ( pemberi gadai ), hal ini dapat terjadi apabila penerima gadai dalam keadaan sangat memerlukan uang, sedangkan si pemberi gadai belum mampu untuk menggunakan hak tebusnya karena belum mempunyai uang misalnya. Upaya lainnya adalah dengan menjual tanah yang dijadikan sebagai objek gadai tersebut kepada si penerima gadai ataupun kepada pihak lainnya.
Dengan demikian apabila pemilik tanah ( pemberi gadai ) belum mampu menebus kembali tanah yang merupakan objek gadai sedangkan waktu penebusannya telah lewat, maka tanah tersebut tidak bisa langsung menjadi milik si penerima gadai secara otomatis, karena perlu diadakannya suatu transaksi lagi seperti tersebut diatas. Namun apabila tanah yang menjadi objek gadai dijual oleh pemberi gadai kepada pihak lain, maka hasil dari penjualan tersebut digunakan untuk mengembalikan uang milik penerima gadai, dan kelebihan dari hasil penjualan dikembalikan pada pemilik kebendaan semula (pemberi gadai).  Selain itu terkadang dalam suatu perjanjian gadai mencantumkan ketentuan (klausula) yang menyatakan bahwa apabila uang gadai tidak ditebus dalam waktu yang telah ditentukan maka tanah yang digadaikan akan menjadi milik penerima gadai.
Dalam perkembangan praktik di Pengadilan, ternyata putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei 1961 K / Sip / 1961, mendasarkan putusannya kepada hukum adat, yaitu :
“ Apabila dalam perjanjian gadai tanah ditentukan waktu tertentu dalam mana tanah harus ditebus, hal ini tidak berarti bahwa setelah waktu gadai itu lampau tanpa tebusan tanahnya dengan sendirinya tanah gadai menjadi milik si pemegang gadai, melainkan harus ada suatu tindakan penegasan yang konkrit.“ [56]

Selain itu juga dapat dilihat dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 9 Maret 1960 Nomor 45 K / Sip / 1960, yang menyatakan sebagai berikut :
 “ Jual gadai sawah dengan perjanjian bahwa apabila lewat suatu waktu tertentu tidak ditebus, sawah itu akan menjadi miliknya si pemegang gadai, tidak berarti bahwa setelah waktu yang ditetapkan itu lewat tanpa dilakukannya penebusan, sawah itu dengan sendirinya menjadi milik si pemegang gadai , untuk mendapatkan milik tanah itu masih diperlukan suatu tindakan hukum lain. “ [57]

Dengan berdasarkan pada kedua putusan Mahkamah Agung diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa dalam hal perjanjian gadai menurut hukum adat, apabila terdapat suatu ketentuan ( klausula ) dalam perjanjian mengenai tanah yang tidak ditebus dalam waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka tanah akan menjadi milik penerima gadai.
Ketentuan (klausula) tersebut harus diartikan, bahwa untuk mendapatkan hak milik atas tanah tersebut, penerima gadai harus melakukan tindakan hukum lain, yakni meminta kepada pengadilan supaya berdasarkan perjanjian tersebut ia sebagai penerima gadai ditetapkan sebagai pemilik. Pengadilan dalam hal mengambil keputusan harus berdasarkan pada suatu kebijaksanaan, misalnya dengan memberikan tempo waktu lagi kepada pemberi gadai untuk dapat menebus kembali tanah miliknya. Namun apabila penebusan tidak dilakukan, maka barulah tanah itu menjadi milik si penerima gadai dan apabila perlu dengan menambah uang gadai kepada pemberi gadai.
Dengan demikian peralihan hak milik dalam hal ini tidaklah terjadi secara serta merta atau otomatis, akan tetapi perlu dilakukan suatu tindakan lebih lanjut atau suatu tindakan hukum lain seperti yang disebutkan dalam penjelasan mengenai keputusan Mahkamah Agung tadi.
Jadi dapat dipahami, dengan berdasarkan pada sifat hukum adat yang selalu mengutamakan asas kekeluargaan dan tolong menolong, tidak dibenarkan apabila waktu gadai telah berakhir, sedangkan pemilik tanah (pemberi gadai ) belum mempunyai cukup uang atau dengan kata lain belum mampu untuk menebus kembali tanah yang telah digadaikannya, penerima gadai memaksakan kehendaknya agar pemberi gadai segera menebus tanah miliknya tersebut. Dalam hal ini penerima gadailah yang seharusnya berinisiatif, apabila ia berada dalam keadaan sangat membutuhkan uang maka ia dapat melakukan perjanjian gadai yang baru untuk memenuhi kebutuhannya itu. Jangan sampai pemberi gadai menjual harta benda miliknya atau bahkan menjual tanah yang dijadikannya sebagai objek gadai tersebut untuk melunasi harga gadai. Karena hal ini sangat bertentangan dengan tujuan awal dari dilakukannya perjanjian gadai tersebut.[58]
Tanah yang dijadikan sebagai objek gadai dan belum ditebus oleh pemberi gadai pada waktu yang telah diperjanjikan, tidak serta merta menjadi hak milik penerima gadai. Untuk dapat menjadi hak milik penerima gadai, maka hal ini harus dicantumkan sebagai salah satu ketentuan (klausula) dalam perjanjian gadai yang telah disepakati bersama tanpa adanya unsur keterpaksaan. Akan tetapi meskipun telah dijadikan sebagai suatu ketentuan (klausula) dalam perjanjian, peralihan hak milik ini tetap memerlukan suatu tindakan hukum. Yakni dengan pengajuan permohonan peralihan hak milik atas tanah yang dijadikan sebagai objek gadai oleh penerima gadai ke Pengadilan Negeri.
Dan dalam hal ini karena upaya hukum yang dilakukan oleh penerima gadai dalam rangka peralihan hak milik ini melalui Pengadilan sifatnya berupa permohonan, maka tidaklah berarti secara apriori Pengadilan mengabulkannya.
Mengenai masa tenggang waktu berlangsungnya perjanjian gadai tanah ini juga mengenai nilai objek gadai serta kesepakatan-kesepakatan lainnya antara kedua belah pihak hanya dapat dituangkan di dalam sebuah perjanjian yang berbentuk tertulis. Karena apabila perjanjian gadai tanah hanya dibuat dalam bentuk lisan saja dengan berdasarkan kepercayaan semata, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan pada saat terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian di kemudian hari.
Pelaksanaan perjanjian gadai tanah ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dengan tidak adanya bukti yang tertulis, pemberi gadai (pemilik rumah ) akan menemukan kesulitan pada waktu tanah yang menjadi objek gadai akan ditebus kembali, sedangkan penerima gadai menolaknya dengan alasan, bahwa perjanjian yang mereka lakukan dahulu adalah perjanjian jual lepas, bukan gadai. Dengan terjadinya peristiwa seperti ini di dalam masyarakat, barulah mereka menyadari manfaat perjanjian yang dibuat dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan uraian di atas maka apabila terjadi sengketa berkaitan dengan masalah gadai tanah dapat diselesaikan melalui  upaya sebagai berikut:
1.      Upaya non ligitasi atau upaya diluar hukum dengan mengedepankan aspek musyawarah mufakat antara kedua belah pihak, dengan memegang prinsip dasar adanya gadai untuk menolong sesame, karena masih tetangga atau kerabat sendiri. Dan apabila negosiasi kedua belah pihak tidak dapat menyelesaikan masalah dapat meminta jasa mediasi yaitu Kepala Desa atau tokoh masyarakat yang dianggap mampu untuk menyelesaikan masalah gadai tanah.
2.      Upaya ligitasi atau melalui jalur hukum yaitu dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri setempat. Hal ini adalah jalan terakhir yang ditempuh apabila cara musyawarah mufakat tidak dapat menyelesaikan permasalahan sengketa gadai tanah.


BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1.      Mengapa masyarakat melakukan gadai tanah karena sebagian masyarakat membutuhkan uang dengan cara yang mudah dan tidak terbelit-belit dikarenakan alasan faktor kebutuhan ekonomi, kebutuhan modal untuk usaha, keperluan biaya rumah sakit, kebutuhan biaya pendidikan,  biaya untuk perkawinan dank arena kebutuhan lainnya. Dengan melakukan gadai tanah berdasarkan hukum adat didasari kepercayaan masing-masing pihak dan semangat saling tolong menolong antar kerabat, tetangga maupun masyarakat.
2.      Sengketa gadai tanah timbul dikarenakan tidak adanya batasan waktu yang jelas kapan si pemberi gadai untuk dapat menebus uang gadai tanahnya, Selain itu permasalahan yang menimbulkan sengketa gadai yaitu bentuk perjanjian yang hanya dilakukan secara lisan tanpa perjanjian tertulis, bahkan tidak adanya saksi dalam kesepakatan gadai tersebut. Sedangkan upaya penyelesaian sengketa gadai tanah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu non ligitasi yaitu melalui musyawarah mufakat melalui negosiasi antara para pihak atau melibatkan mediator yaitu Kepala Desa atau tokoh masyarakat yang dianggap mampu menyelesaikan. Cara kedua yaitu cara ligitasi melalui gugatan di Pengadilan Negeri, yang merupakan cara jalan terakhir untuk mendapatkan keadilan.
B.  Saran
1.    Bagi pemerintah seharusnya harus lebih aktif dalam mensosialisakan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan tanah kepada masyarakat dan memberikan sosialisasi pemahaman kepada masyarakat pentingnya melakukan suatu perjanjian gadai secara tertulis terutama perjanjiann yang berhubungan dengan transaksi tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang sehingga dapat meminimalisir terjadinya sengketa.
2.    Bagi masyarakat pemahaman tentang bentuk perjanjian gadai tanah maupun melakukan transaksi mengenai tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang sehingga adanya perlindungan hukum manakala timbul suatu permasalahan dikemudian hari.




[1] Febry Syarif Hidayatullah, Rizal Nugroho, Asmara Budi Dyah Darma Sutji, 2013, Tinjauan Yuridis Gadai Tanah Pertanian menurut Undang-Undang Pokok Agraria, Hasil penelitian Mahasiswa, Fakultas Hukum Universitas Jember, hal 1

[2] Mudji Rahardjo, Sigit Sapto Nugroho, 2012, Gadai Tanah Menurut Hukum Adat, Jurnal Sosial Universitas Merdeka Madiun, Volume 13 Nomor 2 September 2012, hal 92

[3] A. Hidayat, 2009, Sumberdaya Lahan Indonesia : Potensi, Permasalahan, dan Strategi Pemanfaatan, Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 3 No. 2, Desember 2009, hal 107
[4] Ibid
[5] Erna Yanti, 2016, Tinjuan Hukum Islam Terhadap Gadai Tanah di Kecamatan Tawangmangu, Naskah Publikasi Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Pendidikan Agama islam, Universitas Muhammadiyah Surakarta, hal 1

[6] http://www.suduthukum.com/2017/04/pengertian-tinjauan-yuridis.html, diakses tanggal 28 Januari 2018  Pukul 19.30 WIB

[7] Farkhani, 2014, Pengantar Ilmu Hukum, STAIN Salatiga Press, Salatiga, hal 38

[8] Ibid

[9] Suyud Margono, 2004, ADR(Alternative Dispute Resolution) & Arbitrase, cet II, Ghalia Indonasia,Jakarta, hal 36
[10] Kamus hukum online dalam https://kamushukum.web.id/arti-kata/sengketa/, diakses tanggal 20 Januari 2018, Pukul 19.30 WIB
[11] Sigit Sapto Nugroho, 2016, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Pustaka Iltizam, Surakarta, hal 17
[12] Penelitian Hukum empris ada dua tipe yaitu : (1) Penelitian hukum yuridis sosiologis dan (2) Penelitian sosiologi tentang hukum. Penelitian yuridis sosiologis atau sering disebut penelitian hukum yang sosiologis berdasarkan madzhab sociological yurisprudence. Penelitian ini berbasis pada ilmu hukum normative (peraturan perundang-undangan), tetapi bukan mengkaji mengenai sistem norma dalam peraturan perundangan, namun mengamati bagaimana reaksi dan interaksi yang terjadi ketika norma itu bekerja dalam masyarakat. Penelitian ini sering disebut sebagai penelitian bekerjanya hukum (law in action).Sedangkan penelitian sosiologi tentang hukum mengharuskan orang untuk melihat hukum dari paradigm yang berbeda. Penelitian sosiologi tentang hukum mengkonstruksikan hukum bukan sebagai suatu sistem norma dalam bentuk peraturan perundangan yang selama ini dipahami tetapi hukum dikonstruksikan sebagai sesuatu perilaku masyarakat yang ajeg, dan terlembagakan serta mendapatkan legitimasi secara sosial…...dalam Mukti Fajar, Yulianto Achmad, 2015,  Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal 47-48

[13] Andi Rustandi, Metode Penelitian Hukum Empiris dan Normatif, dalam http//andirustandi.com, diakses tanggal 19 Nopember 2017 Pukul 10.30 WIB.

[14] Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung hal 202

[15] Ibid

[16] Pengertian Observasi adalah Proses pengamatan dan pencatatan secara sistematis mengenai gejala-gejala yang diteliti. Observasi ini menjadi salah satu dari teknik pengumpulan data apabila sesuai dengan tujuan penelitian, yang direncanakan dan dicatat secara sistematis, serta dapat dikontrol keandalan (reliabilitas) dan kesahihannya (validitasnya)…..…dalam http://www.informasiahli.com/2015/08/pengertian-observasi-dan-jenis-observasi.html, diakses tanggal 16 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB

[17] Pengertian Wawancara adalah proses tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung. Pewawancara disebut sebagai interviewer dan orang yang diwawancarai disebut sebagai interviewee…………...dalam http://www.informasiahli.com/2015/08/pengertian-wawancara-tujuan-wawancara-jenis-wawancara.html# diakses tanggal 16 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB

[18] Pengertian studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen untuk menerima data atau isu yang bekerjasama dengan problem yang diteliti….dalam http://jelaskanpengertiandari.blogspot.co.id/2017/09/pengertian-studi-dokumentasi-serta.html diakses tanggal 16 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB

[19] Pengertian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan fakta di lapangan. https://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian_kualitatif diakses tanggal 16 Desember 2017, Pukul 20.30 WIB

[20] R. Amir, 2015, Gadai tanah Perspektif Hukum Islam, Jurnal Muamalah, Vol. V No. 1 Juni 2015, hal 45
[21] Febry Syarif Hidayatullah, 2013, Kajian Yuridis Gadai Tanah Pertanian Menurut UUPA, Laporan Artikel Ilmiah Mahasiswa, Fakultas Hukum universitas Jember, hal 2
[22] Sri Isfardiyana, Keabsahan Hak Gadai Tanah Bengkok yang Dilakukan Kepala Desa, Jurnal Arena Hukum Vo. 10 No 1 (2017), hal 78-98
[23] Ibid 79
[24] Ibid 79
[25] Ibid 80
[26] Refliza, 2016, Kajian Hukum Atas Gadai Tanah Dalam Masyarakat Minangkabau Di Kecamatan Sungayang Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 56/Prp/1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, httpsjurnal.usu.ac.idindex.phppremisearticleviewFile91243899, Diakses 19 Nopember 2017 Pukul 09.00 WIB.,hal 1
[27] Ibid
[28] Zia Ulhaq, 2014, Tinjauan Hukum Islam Mengenai Sistem gadai Tanah sawah, Naskah Publikasi Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammdiyah Surakarta, hal 5
[29] Lilik Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional, Usaha Nasional. Surabaya, hal. 85
[30] Soekanto, 1981, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali Jakarta, hal : 12
[31] H. Abdurahman, 1994, Kedudukan Hukum Adat dalam Perundang-Undangan, Akademika Presindo, Jakarta, hal. 91.
[32] Nur Ridwan Ari Sasongko, Gadai Tanah Sawah Menurut Hukum Adat dari Masa Ke Masa, Jurnal Repertum Vo. 1 No. 2 Tahun 2014, hal 15-17.
[33] Ibid, hal. 15
[34] Ibid, hal. 15
[35] Ibid, hal. 39
[36] Ibid
[37] Ibid
[38] Ibid
[39] Sri Isfardiyana, 2017, Op.Cit, hal. 85
[40] Budi Harsono, 1984, Undang-Undang Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta, hal 303
[41] Ibid, hal 301
[42] Toyib Sugianto, 2001, Hukum Agraria, Brawijaya University Press, Malang, hal. 87
[43] Milik beding adalah kemungkinan diadakan perjanjian gadai dengan suatu syarat, bahwa setelah  berlangsung  selama  waktu  tertentu  pihak  pemilik  tanah  diwajibkan  untuk melakukan penebusan. Perjanjian yang demikian ini, disertai dengan sanksi bila dalam waktu yang ditentukan tidak ditebus oleh si pemilik, maka tanahnya menjadi milik pemegang gadai
[44] Hasil wawancara dengan Bapak Samin warga Desa Tambakromo Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi, Tanggal 8 Januari 2018
[45] Hasil wawancara dengan Bapak Tarmizi Tokoh Desa Tambakromo Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi pada tanggal 8 Januari 2018
[46] Hasil wawancara dengan Bapak Subandono, Kepala Desa Tambakromo Kecamatan Geneng Kabupaten Ngawi pada tanggal 10 Januari 2018
[47] Hasil wawancara dengan beberapa perangkat desa Tambakromo pada tanggal 10 Januari 2018
[48] Hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno warga Desa Kedungputri Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi, pada tanggal 13 Januari 2018
[49] Hasil wawancara dengan salah satu pembeli gadai tanah sawah dari Desa Kedungputri Kecamatan Paron Kabupaten Ngawi tanggal 13 Januari 2018
[50] Budi Sri nastiti, 2013, Penguasaan Gadai Tanah dalam Lingkup Penetapan maksimum Luas Tanah Pertanian, Tesis Program Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, hal 62
[51] Tika Purnamasari, 2017, Sado Sawah Dilihat dari Perspektif Fiqh Muamallah (Studi Kasus di Desa Jarakan Kecamatan Pendopo Kabupaten Empat Lawang) Artikel Ilmiah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Raden Patah Palembang, hal 5
[52] Hasil wawancara dengan Bapak Tri Widodo Kepala Desa Margomulyo Kecamatan Ngawi Kabupaten Ngawi, Tanggal 14 Januari 2018
[53] Tri Hapsari, 2015, Perlindungan Hukum Gadai Tanah Sawah Di Kabupaten Blora, Jurnal Repertum Vol 2 No.1 Tahun 2015, hal 34
[54] Tika Purnamasari, 2017, Op-Cit hal 67
[55] Tri Hapsari, 2015, Op-Cit, hal 35
[56] Nuzul, 2012, Penyelesaian Sengketa Tanah Persaingan dalam Kasus Gadai yang Teridikasi Sanra Putta, Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 2 (2012), hal 3
[57] Ibid, hal 4
[58] Ibid, hal 4

Related : SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH ANTARA PARA PIHAK MENURUT HUKUM ADAT

0 Komentar untuk "SKRIPSI PENYELESAIAN SENGKETA GADAI TANAH ANTARA PARA PIHAK MENURUT HUKUM ADAT "